Mohon tunggu...
Fikhi Surya
Fikhi Surya Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Suka baca buku

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Media Online Mempengaruhi Perspektif Masyarakat terhadap Bias Gender

9 Januari 2024   18:53 Diperbarui: 9 Januari 2024   19:00 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bias gender adalah kecenderungan untuk lebih memihak atau merugikan salah satu jenis kelamin daripada yang lain, yang dapat menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan gender. Bias gender dapat muncul dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam media online. Media online adalah sarana informasi dan komunikasi yang menggunakan internet sebagai platformnya, seperti situs web, media sosial, blog, podcast, dan sebagainya.

Media online memiliki peran penting dalam membentuk opini publik, menyebarkan informasi, dan memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat. Namun, media online juga dapat menjadi sumber atau sarana penyebaran bias gender, baik secara sadar maupun tidak sadar. Bias gender dalam  media online dapat berupa:

Pemilihan narasumber yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan. Menurut penelitian Tempo Institute bersama Pusat Data dan Analisis Tempo pada 2018, hanya 11 persen atau sekitar 2.500 narasumber perempuan dari hampir 23 ribu narasumber yang dikutip media online di Indonesia1. Hal ini menunjukkan bahwa media online cenderung mengutip narasumber laki-laki yang dianggap lebih kompeten, berwibawa, dan relevan dengan isu-isu tertentu, seperti politik, ekonomi, teknologi, dan sebagainya. Sementara itu, narasumber perempuan sering kali diabaikan, dimarginalkan, atau dikaitkan dengan isu-isu yang dianggap feminin, seperti kesehatan, pendidikan, sosial, dan budaya.

Penggunaan bahasa, gambar, atau judul yang bersifat stereotip, merendahkan, atau melecehkan salah satu jenis kelamin. Media online sering kali menggunakan bahasa, gambar, atau judul yang menggambarkan perempuan sebagai objek seksual, korban, atau makhluk lemah dan tidak berdaya. Sebaliknya, media online juga sering kali menggunakan bahasa, gambar, atau judul yang menggambarkan laki-laki sebagai subjek, pelaku, atau makhluk kuat dan berkuasa. Contohnya, media online pernah memberitakan tentang seorang perempuan yang menjadi korban pemerkosaan dengan judul "Diperkosa 8 Pria, Gadis Cantik Ini Tewas Mengenaskan"2. Judul ini tidak hanya mengeksploitasi tubuh dan kematian korban, tetapi juga mengimplikasikan bahwa korban seolah-olah memancing para pelaku karena kecantikannya. Contoh lainnya, media online pernah memberitakan tentang seorang laki-laki yang menjadi korban kekerasan dengan judul "Laki-laki Kok Nangis, Dihajar Massa Gegara Curi Motor"3. Judul ini tidak hanya mengejek korban karena menangis, tetapi juga mengimplikasikan bahwa laki-laki seharusnya tidak menangis karena dianggap tanda kelemahan.

Kurangnya representasi dan partisipasi perempuan dalam media online. Media online tidak hanya berperan sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai pembuat konten, pengelola, dan pemilik media. Namun, kenyataannya, perempuan masih kurang terwakili dan berpartisipasi dalam media online, baik sebagai jurnalis, editor, produser, maupun pemimpin redaksi. Menurut data International Women's Media Foundation pada 2011, hanya 23 persen dari posisi-posisi kunci di media online di seluruh dunia yang diisi oleh perempuan4. Hal ini berdampak pada kurangnya perspektif dan kepentingan perempuan yang terwakili dalam media online, serta kurangnya kesempatan dan perlindungan bagi perempuan yang bekerja di media online.

Bias gender dalam media online dapat berdampak negatif bagi masyarakat, khususnya bagi perempuan. Bias gender dapat memperkuat stereotip dan stigma yang ada, menghalangi hak dan kesempatan perempuan, serta memicu kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk menghapus atau mengurangi bias gender dalam media online, baik dari pihak media itu sendiri, maupun dari pihak masyarakat sebagai konsumen media. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah:

Meningkatkan kesadaran dan keterampilan tentang isu-isu gender bagi para pelaku media online, seperti jurnalis, editor, produser, dan pemimpin redaksi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan, diskusi, atau bimbingan tentang bagaimana meliput dan menyajikan isu-isu gender secara sensitif, seimbang, dan berimbang.

Mendorong keterlibatan dan pemberdayaan perempuan dalam media online, baik sebagai narasumber, pembuat konten, pengelola, maupun pemilik media. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan, dukungan, dan perlindungan yang sama bagi perempuan yang bekerja di media online, serta dengan menciptakan database atau jaringan narasumber perempuan yang kompeten dan beragam.

Mengawasi dan mengkritisi konten media online yang bersifat bias gender, baik dari pihak internal maupun eksternal media. Hal ini dapat dilakukan dengan membentuk tim atau unit khusus yang bertugas untuk memeriksa dan mengevaluasi konten media online dari sudut pandang gender, serta dengan memberikan sanksi atau teguran bagi media online yang melanggar kode etik atau standar profesionalisme dalam pemberitaan.

Membangun kesadaran dan partisipasi masyarakat sebagai konsumen media online untuk menolak dan melawan bias gender dalam media online. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan edukasi dan informasi kepada masyarakat tentang cara mengenali dan menghindari konten media online yang bersifat bias gender, serta dengan memberikan respons atau umpan balik yang kritis dan konstruktif kepada media online yang bersangkutan.

Bias gender dalam media online adalah masalah yang serius dan perlu mendapat perhatian dari semua pihak yang terlibat. Media online memiliki tanggung jawab untuk memberikan informasi yang akurat, objektif, dan berimbang, serta untuk menghormati dan menghargai hak dan martabat semua jenis kelamin. Masyarakat juga memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang berkualitas, relevan, dan bermanfaat, serta untuk berpartisipasi secara aktif dan kritis dalam media online. Dengan demikian, media online dapat menjadi media yang inklusif, demokratis, dan berkeadilan gender.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun