RODA besi ini adalah pengganti kaki-kaki kerbau, kata saya sambil memegang roda traktor yang baru dibeli si om, pagi tadi. Ia yang sedang mengunci baut traktor barunya itu, mendadak tertawa terbahak-bahak.
Zaman memang dengan cepatnya berubah. Dulu, saat umur tujuh tahunan, saya masih ingat, kami membajak sawah dengan belasan kerbau milik kakek. Dengan tali pecut dari rotan, kami menuntun kerbau-kerbau itu memutari sawah.
Kadang, saat kerbau keluar jalur, kakek marah bukan kepalang. Malah kami yang dikejar sambil mengayun tali rotannya itu.
Sekarang berbeda. Di kampung kami amat jarang warga membajak sawahnya dengan kerbau. Empat kaki milik Pokki, demikian nama salah satu kerbau itu, kini telah digantikan roda besi dari traktor merek cina yang harganya cukup terjangkau.
Tak ada lagi teriakan kakek dari pematang, juga tak lagi terdengar ayunan tali rotan tuanya itu.
Memang banyak yang dengan cepatnya berubah.
Kecuali jalan ke kampung kami di ketinggian sana, Rongkong Tana Masakke.
***
DI lembah itu, hawa semakin dingin. Lumpur setengah lutut membuat ban motor bebek kami terseok, hingga perlu didorong sejauh hampir enam meter. Bagi sebagian orang, jalan ini lebih layak disebut kubangan ketimbang dinamai jalan.
Selemparan batu dari sana, reruntuhan tanah bekas longsor semalam kembali di jumpai, ditemani jurang ratusan kaki yang menganga disebelah kanan, yang membuat sungai dibawahnya hanya terlihat seukuran jari kelingking. Â
Beberapa bulan silam, sebuah artikel media lokal mengeposkan keluhan warga salah salah satu kecamatan di Luwu Utara, tentang jalan sekitar pemukiman mereka yang berlubang digenangi bekas hujan.