LUWU UTARA, beberapa tahun silam, dikenal sebagai daerah dengan persentase konflik paling besar di Sulawesi. Bahkan, beberapa media menulisnya dengan istilah “Jalur Gaza”. Tak kurang dari sepuluh titik dimana konflik berkecamuk. Rumah dibakar, pemuda saling tikam, banyak orang diterungkukan. Kala itu, banyak pihak menganggap, pemerintah dan aparat keamanan tak hadir untuk melakukan langkah konkret dalam penanganan konflik.
Absennya pemerintah yang semestinya hadir sebagai payung bagi beragam kelompok, kemudian tak optimalnya peranan aparat yang harus menjadi penjaga garis demarkasi antara kebaikan dan kejahatan, menjadi dalil atas hal tersebut. Jika merujuk pada hujjah yang dikemukakan Yash Ghai, professor hukum publik hongkong dalam makalah “Dinamika Konflik di Indonesia”, pemimpin dan aparat kemananan yang visioner memang memegang kunci dalam penanganan konflik.
***
PETANG 7 Desember ini tak seperti biasanya. Luwu Utara rasanya getir. Dimana-mana, lini masa facebook, warung-warung kopi, saya melihat rupa-rupa dan status yang masygul terenyuh. Saat saya sedang berbincang dengan mantan Kapolres Luwu Utara, Muhammad Endro, ketua DPRD Mahfud Yunus tiba-tiba muncul di depan pintu dengan raut yang gundah. Disana, ia disambut dengan pelukan dari Endro. Tak banyak kata yang ia tutur.
Bekas air mata di wajahnya mungkin jadi sebab. Di ruang makan, saya semeja dengan pejabat Polres. Ruangan yang semestinya ceria itu tak sama seperti biasanya. Pejabat itu mengeduk tempat nasi dengan raut yang seperti sedang berduka, persis dengan salah satu bintara yang saya temui siang tadi.
Endro yang biasanya meledak-ledak saat bercakap, juga sangat berbeda sore ini. Nadanya datar, senyumnya yang biasanya tersimpul lebar, kini ditudung oleh bola matanya yang terlihat lebam. Ia hanya menjawab normatif sejumlah hal yang saya tanyakan, yang tentu tak menghilang keramahannya.
Luwu Utara memang kehilangan. Kehilangan sosok polisi yang dicintai banyak orang. Polisi yang mengubah “Jalur Gaza” menjadi damai tenteram. Endro memenuhi harapan yang dipanggulkan orang-orang ke bahunya. Ia datang menjanjikan kedamaian, yang ia penuhi tak lebih dari sebulan. Ia hadir mengubah citra itu.
Endro mengubah wajah kepolisian yang ekslusif menjadi ramah, menyenangkan dan penuh keakraban. Ia berteman bahkan dengan siapa saja. Baik pejabat, masyarakat biasa, atau preman lainnya,” kata tokoh pemuda Luwu Utara, Hakim Bukara. Tokoh pemuda Mukhtar Jaya menyebut, saat Endro bergaul dengan warga, segala atribut simbol jabatannya ia tanggalkan. Revolver dipinggangnya ia gantikan dengan sejuta keramahan.
Dulunya, tak ada yang membayangkan kawasan Balebo menjadi destinasi wisata lokal. Dulu, Balebo disinonimkan dengan wajah-wajah yang seram dan kejam. Dulu pula, kita mesti berpikir ulang untuk mengunjungi Balebo yang sejuk dan asri itu. Tapi kini, anak-anak muda disana bangkit dengan segala kreativitasnya dan prestasinya, dengan semua keramahan mereka.
Kepada bawahannya, Endro bersikap egaliter, tak ada yang istimewakan antara bintara ataupun perwira. Segala keramahan memang ia tuang ke semua ruang-ruang sosial. Ia memahami bahwa memang semua kebaikan yang terpancar dari wajah-wajah polisi, mesti dimulai dari bagaimana perlakuan pimpinan.
Endro berujar, saat kita memperlakukan seseorang dengan baik, maka dengan sendirinya kebaikan itu mengalir kepada semua. Saat seorang komandan memudahkan anak buahnya, maka begitupulalah laku anak buah kepada masyarakat yang dilayaninya. Kala bawahan dipenuhi kebutuhannya tugasnya, begitu juga mereka memenuhi kebutuhan pengayoman warga.