Mohon tunggu...
Zulfiqar Rapang
Zulfiqar Rapang Mohon Tunggu... Administrasi - Mengabadi dalam literasi

Pemuda ketinggian Rongkong, Tana Masakke. Mahasiswa Ilmu Politik di Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Ahok dan yang Tersisa Setelah 411

12 November 2016   16:56 Diperbarui: 12 November 2016   17:47 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: 3.bp.blogspot.com

Memilih calon pemimpin dengan preferensi kesamaan keyakinan dan kesukuan tidaklah dilarang. Namun merendahkan hingga memarjinalkan mereka yang berbeda cara ibadah dan ukuran kelopak mata yang tak sama, adalah pengkhianatan terhadap ajaran pancasila sebagai dasar bangsa Indonesia.

Dalam bingkai ke-Indonesia-an adalah tak adil, misalnya jika kita lebih memilih calon pemimpin yang beragama Islam, namun rekam jejaknya tak islami; korupsi, dengki, serakah, atau arogan. Akan lebih baik jika memilih rivalnya yang meski agamanya berbeda, namun bersih dan dapat diteladani.

Dan, pun begitu sebaliknya, penganut agama dan suku bangsa yang berbeda seharusnya dapat pula  berlaku adil dalam berpikir. Saya kadang berasumsi, Jika saja Ahok bukanlah orang jujur dan bersih, mungkin sebagian saudara-saudara kita tetap akan memilihnya, dengan alasan kesamaan keyakinan dan se-suku bangsa dengan Ahok.

Nila-nilai kebangsaan kita tak boleh dibiarkan rusak oleh oknum-oknum antagonis yang ingin memonopoli bangsa atas nama agama, ideologi dan semacamnya. Luka bangsa yang pernah tertoreh tak perlu terulang lagi. Bumi Indonesia bukan hanya untuk sekelompok orang saja, tetapi untuk semua anak manusia dengan mimpi luhur yang sama, dengan segala corak dan warna yang berbeda.

Jika ada yang memberikan pandangan yang berbeda, umpamanya pro-Ahok, tak harus selalu di stereotip-kan sebagai orang kafir. Dan mereka yang menolak, tak harus pula dianggap sekoyong-koyong dianggap sebagai muslim radikal.

Di media sosial, terlalu banyak postingan dan komentar yang saling caci serta saling merendahkan. Tak hanya yang menolak Ahok, sebagian dari mereka yang pro-Ahok, dengan latar belakang pendidikan yang mencukupi, banyak yang terjebak dalam kesalahan berpikir; merasa paling benar, tak lagi bijak, bahkan terkesan memaksakan cara berpikirnya kepada mereka yang berbeda. Saya mengistilahkannya sebagai Intelektual Radikal.

Padahal, tak semua yang menolak Ahok didasari atas pengetahuan keagamaan dan permalahan yang menyeluruh. Mereka hanya turut berseru sebagai panggilan nurani untuk berpihak dan menyokong agamanya, yang mereka anggap telah dinodai. Maka mengkritik mereka dengan pemilihan bahasa yang ofensif tidaklah tepat. Alih-alih memberikan pencerahan, malah disangka menyinggung keyakinan mereka.

Sesama muslim yang pro-Ahok pun tidak selayaknya dihujat bahkan dinilai kafir kala mereka mengungkapkan pendapatnya. Semestinya, kita memang tidak harus latah dengan perbedaan. Tugas kita merawat semangat kebhinekaan yang dirintis para pendahulu republik kita, termasuk di dalamnya para ulama, yang merumuskan Pancasila sebagai dasar Negara.

Siapapun dia, apapun suku dan agamanya, harus sama-sama belajar untuk menumbuhkan sikap dan membumikan penghargaan atas kemajemukan. Indonesia kita yang terdiri dari banyak suku bangsa, agama, dan mazhab harus siap untuk hidup berdampingan. Dengan demikian, kita dapat berdamai dengan perbedaan.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun