Dalam malam menjelang larut ini, aku sempatkan diri ini untuk menuliskan surat ketiga untukmu. Surat yang ku harap mampu memunculkan senyuman di wajahmu. Aku telah bercerita bagaimana aku takut kehilanganmu pada surat pertamaku, apa kau ingat? Dan aku menuliskan bagaimana aku mengagumimu pada surat kedua ku. Dan kini jemari ini mulai terasa gatal untuk menuliskan kembali surat untukmu. Kau rindu ku kirimi surat bukan?
Tak terasa waktu memakan banyak memori dalam hidup ini. Aku belajar banyak tentang bagaimana menjaga seseorang yang disayangi, darimu. Singkatnya kita telah menginjak kurang lebih satu tahun untuk saling melengkapi satu sama lain. Suka dan duka yang menghadang seolah hanya jalan berduri yang berperan untuk menguji seberapa besar usaha kita untuk mempertahankan benteng yang sudah kita bangun sejak lama.
Kau tahu? Kita hebat bukan bisa melewati semuanya? Aku tahu tak semua jalan berkerikil yang kita hantam dapat hancur dalam sekejap, kadang kerikil itu sendiri yang melukai kita, atau bahkan debat hebat yang membekukan kita. Namun bukankah kita diciptakan untuk saling menyembuhkan luka kerikil yang menancap itu? Aku percaya Tuhan telah merencanakan banyak hal indah untuk kita.
Yang ku tahu kau adalah orang yang paling pandai membuat denyut nadiku mengikuti lomba maraton dalam hitungan detik. Yang ku tahu kau adalah orang yang mampu membuat hatiku lumer dan beku dalam sekejap ketika harus berhadapan dengan moodmu yang bisa digambarkan layaknya roolercoaster. Yang ku tahu, aku selalu menanti senyummu menyapaku. Yang ku tahu, berbincang-bincang denganmu selalu menjadi hal yang ku rindukan. Yang ku tahu, bercanda gurau denganmu adalah suatu hal yang ku harap bisa ku lakukan kini bahkan esok hari dan seterusnya. Dan yang paling ku tahu, kau selalu menjadi tokoh utama dalam untaian pikiran dalam sela-sela otakku.
Mungkin bukan menjadi hal yang tidak asing lagi bagimu melihatku bertingkah layaknya anak kecil yang tengah merengek sebuah mainan pada orangtuanya. Tidak, aku hanya bertingkah seperti itu ketika aku tengah merindukanmu dan kau bersikap layaknya acuh tak acuh. Mungkin sikap acuh tak acuhmu itu tidak sepenuhnya kau lakukan secara sadar, ada sebagian prasangkaku yang kadang melewati titik jenuh hingga kadang mengundang emosimu. Ya, aku selalu mati kutu ketika harus mendapatkanmu berdebat dengan emosimu. Tapi, aku hanya merindukanmu… tidak ada maksud lain. Apalagi membakar emosimu.
Aku. Aku akan selalu membutuhkanmu seperti ini, kau tak perlu berfikir bahwa kau tak layak duduk disampingku, apa aku pernah membatasi kelayakan? Tidak. Kau melengkapiku, begitupun aku.
Tetaplah menjadi engkau yang akan menjadi mimpi dalam tidurku. Tetaplah menjadi engkau yang menjadi alasanku untuk tersenyum. Tetaplah menjadi engkau yang akan merelakan rasa khawatirnya ketika sesuatu terjadi padaku. Tetaplah menjadi engkau yang mempunyai tujuan untuk membahagiakanku, apa kau ingat aku pernah mengatakan bahwa tugasmu belum selesai, kau masih harus membahagiakanku sampai nanti. Tetaplah menjadi penghangat hati ini. Karena aku akan melakukan hal yang sama.
Menginjak bulan dimana satu tahun ini telah berlalu, aku sangat bahagia mengetahui kau masih berada disisiku. Masih menjaga hati ini. Masih dalam keadaan yang sama. Masih dengan tatapan hati yang hangat. Masih dengan kasih sayang yang putih. Masih dengan senyuman manismu. Biarkan semuanya tetap seperti ini… seperti bagaimana aku selalu mengucap syukur kepada Tuhan yang telah menurunkan seseorang sepertimu untuk menjagaku.
With love, Fikha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H