Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Artikel Utama

Hati-hati, Anak Kedua Lebih Sensitif

8 Maret 2012   12:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:21 1947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13312165691585637723

[caption id="attachment_175460" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Sore tadi (8/3/2012) kebetulan saya ngobrol ngalor ngidul dengan salah seorang rekan kerja saya yang memiliki tiga orang anak. Ketiga anaknya berjenis kelamin laki-laki. Sebut saja beliau adalah Pak Hamid. Pak Hamid bercerita tentang perilaku anak-anaknya yang berbeda. Masing-masing anak memiliki karakter yang berbeda meskipun keluar dari rahim yang sama. Yang paling nyentrik adalah anak kedua. Anak kedua Pak Hamid tergolong anak yang kritis dan nyeleneh. Beberapa kali tingkahnya membuat Pak Hamid khawatir. Suatu waktu sebut saja Ali yang masih duduk di bangku SD, tiba-tiba hilang dari sekolah. Padahal ada tukang ojek yang senantiasa menjemput Ali di sekolah. Kontan saja hal ini membuat Pak Hamid khawatir dan pusing tujuh keliling. Hampir dua jam Pak Hamid mencarinya mulai dari sekolah hingga ke rumah tetangga-tetangganya, kalau-kalau ada orang yang melihat Ali. Pikiran Pak Hamid sudah jauh kemana-mana. Pak Hamid khawatir jika terjadi apa-apa dengan anak keduanya itu. Dalam kondisi galau setelah dua jam pencarian akhirnya Pak Hamid Sholat Dzuhur. Karena sibuk mencari Ali, Pak Hamid hampir saja lupa menunaikan Sholat Dzuhur. Untunglah Pak Hamid segera ke pulang dan menunaikan Sholat Dzuhur. Seharusnya Ali sudah pulang pukul 12 siang. Namun tukang ojek langganan Ali tidak menemukan dimana Ali berada. Akhirnya dalam sujud dan sholatnya Pak Hamid memohon kepada Alloh SWT agar diberikan jalan terang untuk menemukan Ali. Tak kuasa Pak Hamid berdoa dengan dipenuhi derai air mata berharap Ali dapat ditemukan dan kembali ke pangkuan. Usai sholat Pak Hamid kemudian melanjutkan pencarian. Kali ini tujuan Pak Hamid adalah masjid di dekat rumah. Beberapa saat setelah menyusuri jalan ke arah masjid, dari kejauhan muncul lah bocah dengan perawakan seperti Ali. Pak Hamid senang luar biasa karena Ali ternyata datang menghampirinya. Setelah ditanya, ternyata Ali pulang lebih awal karena di sekolah sedang ada acara. Ali ternyata bosan menunggu disekolah hingga akhirnya Ali pulang dengan berjalan kaki. Ali mengaku main di rumah salah seorang sahabat kakaknya. Sahabat kakaknya ini memiliki adik yang seumuran dengan Ali. Ali main Play Station selama Pak Hamid mencarinya. Syukurlah Pak Hamid tidak marah. Pak Hamid malah bersyukur Ali dalam kondisi sehat dan baik-baik saja. Kejadian serupa pernah terjadi juga. Saat itu Pak Hamid tertidur sehingga lupa mengunci pintu. Padahal saat itu kondisinya sudah pukul 22.00. Saat terbangun Pak Hamid kaget karena hanya melihat anak sulungnya sementara anak keduanya tak ada di tempat tidur. Setelah di cara kemana-mana ternyata Ali bermain di hajatan tetangga sebelah bersama anak-anak lainnya. Sejak saat itu Pak Hamid tidak lupa selalu mengunci pintu pagar dan rumah untuk memastikan anak-anaknya tidak keluar rumah pada malam hari. Setelah berdiskusi dengan rekan-rekan Pak Hamid disekolah ternyata ada diantara rekan-rekan Pak Hamid yang memiliki jumlah anak yang sama, seperti halnya Pak Hamid. Rata-rata mereka mengakui bahwa anak kedua mereka sangat spesial dan butuh perlakuan khusus. Bukan berarti membedakan dari segi pemberian fasilitas melainkan dalam cara berkomunikasi dengan anaknya. Memang penilaian ini sedikit subjektif. Tetapi pengalaman dari tiga keluarga yang sama-sama memiliki tiga orang anak laki-laki tampaknya bisa dijadikan bahan untuk sharing. Pak Hamid menilai anak keduanya memang sedikit sensitif. Lebih perasa dan tidak mudah untuk dijahili oleh orang tuanya bahkan saudara-saudaranya. Sehingga saya menganjurkan untuk lebih menjaga perasaannya. Anak seperti Ali tidak bisa disuruh dengan cara yang keras. Anak seperti Ali harus diberikan pujian sesuai dengan prestasinya. Anak seperti Ali tidak perlu dimarahi habis-habisan jika dia melakukan kesalahan. Cukup berdiskusi ringan dan dinasihati dengan lembut. Cara ini tergolong cara yang paling efektif. Jika Ali diperlakukan dengan kasar dan cenderung keras, anak seperti Ali akan menyimpan dendam yang cukup panjang bahkan bisa dibawanya hingga dewasa dan berpotensi melakukan kekerasan serupa terhadap adiknya, kakaknya atau teman-temannya. Tentu hal ini sangat berpengaruh dengan perilaku sosialnya di masa Ali tumbuh dewasa. Dia akan menjadi anak yang pemurung dan selalu menarik diri dari pergaulan. Bisa jadi Ali akan tumbuh menjadi anak yang tidak percaya diri. Padahal anak-anak seperti Ali lebih kritis dan cerdas jika diperlakukan sebagaimana mestinya. Tidak ada salahnya jika Ali berprestasi, pajang saja piala atau sertifikat penghargaannya di ruang tamu atau di kamarnya agar anak seperti Ali bisa lebih termotivasi. Orang tua seperti pak Hamid tinggal memotivasi dan membimbingnya. Dan jangan pula selalu membanding-bandingkan Ali dengan kakaknya atau adiknya. Anak pertama pola pikirnya cenderung lebih dewasa dibandingkan dengan tubuhnya dan seiring dengan pertumbuhannya dia akan semakin sadar bahwa dia memikul tanggung jawab yang cukup besar sehingga dia perlu memberikan contoh yang baik kepada adik-adiknya. Sedangkan anak ketiga cenderung berpikir lebih bebas dan terkadang cuek dengan keadaan kakak-kakanya. Potensi anak ketiga bisa lebih luar biasa melampaui anak pertama dan kedua jika Orang Tua dibekali pengetahuan yang cukup dalam mendidik anak-anak yang memiliki karakter yang berbeda. Sambil guyon saya menyarankan Pak Hamid menambah anak yang keempat, siapa tahu yang keempat itu anak perempuan sehingga keluarganya akan lebih lengkap hehehehe. Serpong @gurubimbel

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun