Pada tahun 2002, saya resmi tinggal di daerah Kalibata, Jakarta Selatan. Saat itu saya baru menyelesaikan pendidikan SMA di Yogyakarta kemudian merantau ke Jakarta. Uniknya, saya malah berkuliah di daerah Ciputat. Saat itu Ciputat masih termasuk dalam bagian Kabupaten Tangerang, kemudian akhirnya terjadi pemekaran daerah dan berdiri secara otonom Kota Tangerang Selatan.
Saat tinggal di Kalibata, Jakarta Selatan. Saya merasakan akses transportasi yang sangat mudah karena lokasi yang sangat strategis. Apalagi saat itu rumah dekat dengan stasiun KRL atau sekarang dikenal dengan Commuter Line. Praktis saya merasa betah berada di Jakarta Selatan. Kawasan pemukiman yang tidak terlalu panas dan punya akses transportasi umum yang cukup baik.
Setelah menyelesaikan bangku kuliah kemudian saya langsung menikah. Saat itu saya langsung pindah ke rumah mertua Indah di kawasan Tangerang Selatan. Hanya sekitar 6 kilometer saja yang bisa ditempuh dengan kendaraan umum sekitar 30 menit. Kawasan Tangerang Selatan memang saat itu tengah bebenah terlebih setelah ditetapkan sebagai daerah pemekaran baru di Provinsi Banten.
Jalan-jalan mulai diperbaiki dan diperlebar, kemudian sekolah-sekolah SD Negeri yang tadinya reyot langsung mendapatkan dana perbaikan dan rehabilitasi besar-besaran. Tak terkecuali beberapa sekolah menengah pertama dan hadirnya SMA Negeri baru dengan gedung yang baru pula.
Fenomena tinggal di sebuah kota satelit yang baru lahir ternyata memiliki banyak keuntungan. Saat itu sekitar tahun 2008 harga rumah bersubsidi sangatlah terjangkau sekitar Rp100 juta. Sedangkan rumah-rumah non subsidi hanya terpaut Rp50 juta saja. Untuk rumah-rumah dengan tipe 36 luas tanah sekitar 70 meter persegi rata-rata masih dibawah Rp300 juta. Walhasil saya tak pernah berpikir untuk pindah dari Tangerang Selatan.
Namun yang memang sangat menyulitkan adalah akses transportasi ke Jakarta Selatan. Saat itu saya masih harus tetap mengantar istri kerja ke darah Terogong, Pondok Indah. Sementara saya sendiri ngantor mulai siang hingga malam hari di daerah Bintaro. Jam kerja tersebut membuat saya sedikit leluasa untuk mengantar istri pada pagi hari. Sayangnya dari Tangerang Selatan tidak ada akses langsung KRL ke Jakarta Selatan. Apalagi saat itu belum ada moda transportasi feeder Transjakarta apalagi ojek online yang saat ini selalu menjadi bahan perbincangan. Infrastuktur jalan juga tidak seimbang dengan pertumbuhan kendaraan. Hampir setiap hari kami terjebak kemacetan yang luar biasa membuat stres hingga berpengaruh pada kesuburan istri saya.
Beruntung akhirnya istri saya mendapatkan pekerjaan baru di daerah BSD, Serpong. Masih di daerah Tangerang Selatan yang kini menjadi salah satu daerah hunian favorit dan akan menjadi salah satu kawasan bisnis yang akan berkembang di masa mendatang. Jarak dari rumah hanya sekitar 11 kilometer namun dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi hanya dalam waktu 30 menit saja.
Belakangan, setelah pembangunan dan pelebaran jalan, perjalanan ke kantor tak secepat dan semudah dulu lagi. Kini sudah banyak warga yang berkendara dengan mobil baru. Istilah macet malah baru terjadi beberapa tahun belakangan ini. Saya menduga memang karena sudah banyak muncul perumahan-perumahan baru di daerah Pamulang, Tangerang Selatan.Â
Itu pula yang menyebabkan harga tanah dan rumah meningkat hingga dua kali lipat. Saat ini sangat sulit mendapatkan rumah subsidi seharga Rp100 juta di daerah Pamulang. Untuk rumah dengan ukuran 24 tanah seluas 60 meter persegi saja kini minimal harus merogoh kocek antara Rp350 juta hingga Rp450 juta.Â