Namun, Prabowo menangkap berbeda. Prabowo justru menganggap bahwa yang tertawa itu adalah menertawakan Indonesia yang dianggapnya rapuh dan lemah.
Gagasan Prabowo tentang ideologi, pertahanan dan keamanan, pemerintahan dan hubungan internasional hanya dijawab dengan perang, perang, dan perang. Bahkan diplomasi pun diartikan oleh Prabowo dengan kekuatan militer. Ini menunjukkan bahwa Prabowo tidak memahami tema maupun posisi Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia.
Berbeda dengan Jokowi yang mengedepankan negosiasi. Diplomasi Jokowi di kota Solo sudah menjadi bukti bagaimana Jokowi bisa berkomunikasi dengan rakyat.Â
Apalagi di kancah Internasional. Pemerintahan Jokowi kini sudah meminta Swis untuk membuka identitas pemilik rekening orang paling kaya di Indonesia yang menyimpan kekayaannya di Swis, September 2019 mendatang. Inilah cara Jokowi berdiplomasi, bukan seperti Prabowo yang siap menyerbu dan mengerahkan prajurit untuk berperang.Â
Pengalaman Prabowo selama masa perang memang menunjukan bahwa Prabowo harus tetap hidup dan bertahan. Kondisi tersebut membuat insting otak reptilnya lebih dominan sehingga tercermin dalam perilakunya yang agresif, meledak-ledak, dan pemarah.Â
Jika otak reptil seseorang aktif, biasanya ia tak akan bisa berpikir secara jernih. Jadi, apa yang sudah direncanakan oleh kubu 02 untuk tampil santun di panggung buyar seketika saat Prabowo marah.Â
Sebaik apapun usaha kubu 02 untuk mencitrakan Prabowo adalah sosok yang santun, penyabar, dan tidak mudah meledak-ledak justru gagal dan disaksikan langsung oleh jutaan pasang mata rakyat Indonesia karena ulah Prabowo sendiri.
Jadi, apakah Anda akan memilih sosok yang selalu ngajak perang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H