Melihat debat pada putaran kedua tadi malam memang cukup banyak membuka mata para swing voters bagaimana Jokowi mengungkapkan beberapa fakta tentang kedaulatan pangan Indonesia.
Namun, sebelum memasuki inti masalah saya merasa harus berkomentar tentang performa debat Jokowi yang begitu mudah mematahkan pertanyaan dan pernyataan Prabowo yang masih sangat normatif.
Kubu Prabowo masih saja menggoreng isu impor. Padahal dalam tulisan saya sebelumnya, nilai impor beras dari masa ke masa terus mengalami penurunan. Begitu juga dengan produksi yang makin meningkat.
Baca Presiden yang Paling Banyak Impor Beras Bukan Jokowi, Tapi...
Mengapa Jokowi Tetap Impor?
Dari penelusuran data Kementerian tahun 2014 hingga 2018 terjadi peningkatan komoditas seperti jagung yang naik hingga 68,12%. Tahun 2014 produksi jagung sekitar 19,01 juta ton dan pada tahun 2018 bisa mencapai hingga 30 .06 juta ton jagung.
Meskipun faktanya memang Indonesia masih membuka kran impor. Seperti yang dikatakan oleh Jokowi dalam debat, pemerintah mencoba untuk tetap menyediakan stok pangan yang cukup untuk konsumsi nasional, apalagi beberapa waktu Indonesia diterjang oleh berbagai bencana.
Impor yang dilakukan tak lain hanya untuk menjaga cadangan kebutuhan nasional. Intinya pemerintah berusaha untuk menstabilkan harga pangan, bukan soal impornya, tetapi soal ketahanan pangan dan stabilitas harga.
Toh lambat laun produksi komoditas pangan pun semakin meningkat. Apalagi jika beberapa unicorn di Indonesia bisa membantu mengembangkan revolusi 4.0 yang menyentuh produktivitas pangan serta membantu pemasaran para petani.
Kata kunci soal pangan inilah yang sebetulnya tidak tersampaikan. Jika melihat data yang diumumkan oleh BPS, angka inflasi bahan makanan menyentuh rekor terbaik dalam sejarah hingga 1,26% pada tahun 2017.
Rekor Inflasi Pangan dalam 30 Tahun Terakhir