Sejarah mencatat bahwa beberapa ibu kota berdiri tidak jauh dari sumber air seperti sungai dan lautan. Tak terkecuali beberapa kerajaan di Pulau Jawa yang berdekatan dengan sumber air, sungai-sungai yang mengalir jernih dari pegunungan.
Air juga kerap menjadi salah satu sumber yang dijadikan alasan untuk berperang. Air menjadi sumber penghidupan dan menjadi sumber vital bagi sebuah kerajaan.
Itulah sebabnya kata DR. Ir. Nana Mulyana Arifjaya, Pakar Hidrologi dari IPB, air juga membentuk karakter orang. Mereka yang hidup dekat dengan sumber air cenderung memiliki sikap toleran dan damai. Sebaliknya, mereka yang sulit mendapatkan air kerap mengedepankan watak yang keras.
Jika dulu raja dan rakyatnya bisa berperang demi memperebutkan air, kini justru sebaliknya. Warga justru harus berperang dengan dirinya sendiri.
Mereka yang tinggal di dekat aliran sungai tak lantas hidup makmur dan sejahtera. Ironisnya, air menjadi sumber dari malapetaka dan wabah yang melanda. Salah satunya yang pernah terjadi di Desa Wangen, Kecamatan Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah.
Corak dan ciri khas rumah Jawanya tetap dipertahankan. Hal tersebut terlihat dari atap yang bisa dijangkau tangan dengan teras yang lapang. Di beberapa rumah masih ada yang menaruh bale-bale sebagai tempat bersantai. Di samping kanan dan kirinya beberapa tanaman tumbuh mempercantik rumah-rumah mungil khas di desa.
Lingkungan pedesaannya pun cukup bersih. Ingatan saya menerawang jauh saat pernah tinggal di Yogyakarta. Kondisinya hampir serupa. Biasanya mbah-mbah dengan punggung yang sudah membungkuk sekalipun masih tetap rajin membersihkan halaman rumah hingga ke sudut-sudut jalan tetangganya. Hebatnya lagi, hal itu mereka jadikan rutinitas yang tak pernah dilewatkan setiap pagi sehingga saya bisa menyapa mereka dan bercengkrama meski hanya sesaat.
Kondisi tersebut membuat sosok seperti Aris Wardoyo, pemuda yang mulai sadar bahwa ia harus berbuat sesuatu dengan desanya jika tak ingin terus menerus dalam kondisi yang sama.