Pertanyaan itu memang cukup menggelitik, apalagi saat ini setiap orang bisa mengambil foto ataupun merekam video dengan menggunakan kamera ponsel kapanpun dan dimanapun.
Mengambil foto korban kecelakaan ataupun korban bencana alam bagi sebagian orang dianggap melanggar etika sosial. Meskipun tidak ada peraturan baku, tetapi memotret orang yang sedang mendapatkan kemalangan dianggap menunjukkan rasa kurang empati.
***
Setahun yang lalu, saya pernah menegur paman saya yang mengambil foto jenazah nenek saya yang sedang dikafani. Saat Itu ada kekhawatiran jika fotonya viral dan dikomentari netizen Yang Maha Benar.
Namun, kemudian paman saya mencoba menenangkan saya. Itu pun ia lakukan setelah berhasil mengambil satu foto.
"Ini hanya untuk dokumentasi kok, supaya bisa dilihat oleh Bapak (Kakek saya)" tuturnya.
Tadinya saya ingin meminta supaya foto itu dihapus. Tetapi karena dia sudah menyatakan demikian, akhirnya saya pun tidak memperpanjang hal tersebut.
Setahun sudah berlalu, saya pun sudah lupa jika paman saya pernah mengambil gambar nenek saya saat dikafani.
Hingga saat ini saya tidak pernah melihat foto-foto nenek saya di sosial media dalam kondisi dikafani. Artinya memang foto tersebut tidak pernah diunggah oleh paman saya ke sosial media.
Kekhawatiran saya bukan tanpa alasan, karena foto punya banyak cerita tergantung persepsi orang yang melihatnya. Itulah kenapa saya melarang siapapun di ruangan itu untuk mengabadikan almarhumah saat dikafani.
Namun, setelah saya pikir-pikir, mungkin apa yang saya lakukan itu tidak tepat. Apalagi setelah mendapatkan penjelasan dari Arbain Rambey.
Malahan ia sering memotret korban kecelakaan dan korban-korban lainnya dengan kondisi yang amat mengenaskan. Bahkan saat ditugaskan dalam kondisi bencana sekalipun tugas dia tetaplah menjadi seorang juru potret. Bukan sebagai relawan yang menolong korban.