Pertama kali mengenal uber di Jakarta waktu itu tahun 2015. Awalnya memang saya ragu untuk menggunakan uber, tapi setelah membaca beberapa review lewat sosial media, saya jadi penasaran juga seperti apa sih layanan Uber itu?
Saat itu saya memang sangat jarang sekali menggunakan taksi, alasannya karena selain mahal, juga karena taksi kurang efektif. Buat saya yang tinggal di kampung dan jauh dari jalan raya, sangat sulit untuk mendapatkan taksi. Karena saya harus keluar dulu, mencari taksi di jalan raya, memanggilnya kemudian menuntunnya ke rumah. Cukup merepotkan bukan?
Namun setelah mencoba Uber untuk pertama kalinya, semua kerepotan tersebut sirna. Pengalaman pertama menggunakan Uber membuat saya menjadi seperti adiktif menggunakannya. Bagaimana tidak adiktif, karena saya punya banyak stok free ride dari Uber. Kemudahan melakukan order dari mana saja dan di mana saja membuat Uber lebih praktis dan efisien. Â
Kenapa saya bisa mendapatkan banyak free ride dari uber? Karena pada saat pertama kali menaiki Uber, saya langsung menuliskan pengalaman saya di dalam blog pribadi. Tak disangka, ternyata banyak juga yang menggunakan kode referral saya. Saat itu Uber masih memberikan free ride cukup besar sekitar Rp150.000 bagi pengguna pertama.
Belum yakin dengan layanan Uber ini. Pertanyaan-pertanyaan itu selalu jelas muncul.Â
"Ini Uber apa nggak rugi buang-buang duit ini?" pikir saya.
Barulah saya mengerti ternyata itu salah satu promosi yang memang menjadi strategi sebuah start up. Dan ternyata promosi tersebut makin banyak karena bukan Uber saja yang melakukannya.
Saya percaya bahwa macet itu bukan hanya menimbulkan kerugian psikologis dan fisik semata, tapi juga berdampak pada yang lainnya.
Saat istri saya masih kerja di Jakarta, kami agak kesulitan untuk menjalankan program memiliki anak. Saat itu istri saya bekerja di daerah Terogong, Jakarta Selatan dan harus menempuh perjalanan sekitar 20 km dari Tangerang Selatan. Pada waktu normal sebetulnya jarak tersebut dapat ditempuh kurang dari 60 menit. Namun, jangan ditanya pada saat pagi hari dan sore hari, saat waktunya orang-orang berangkat kerja dan pulang kerja pada waktu yang bersamaan. Waktu yang ditempuh bisa lebih dari 60 menit, belum lagi lelah fisik yang dirasakan sehingga berdampak pada psikologis istri saya.
Melihat kondisi demikian, akhirnya kami memutuskan untuk mencari kantor baru yang lebih dekat. Alhamdulillah istri saya mendapatkan kantor baru di BSD yang jaraknya hanya sekitar 10 km saja dari rumah. Sejak itulah kami baru bisa memiliki anak setelah istri saya pindah kerja dari Jakarta ke BSD.