Lebaran lalu saya benar-benar kesulitan sekali membeli gas di daerah Bandung, Jawa Barat. Meskipun stocknya ada, itupun ternyata sudah ada yang booking. Jadi, warung-warung yang menjual gas tidak akan memberikan pada pembeli yang bukan menjadi pelanggan tetapnya. Sungguh tega memang!
Tapi mau bagaimana lagi. Tanpa gas, kami tak bisa masak. Jika kami tak bisa masak artinya kami tidak bisa makan. Mau tak mau akhirnya memang saya jadi keliling kota Bandung sampai menemukan gas yang tersisa. Ibarat melamar pekerjaan di saat sulit, hampir semua warung saya ketuk demi mendapatkan secuil gas.Â
Kondisi tersebut memang akhirnya membuat keluarga saya di Bandung serba sulit ketika gas habis. Entah bagimana jadinya nanti jika Jawa Barat akan kekurangan gas pada tahun 2019.
Meskipun begitu sepertinya masih ada secercah harapan. Kondisi kesulitan mendapatkan gas di Bandung membuat saya jadi teringat dengan digester di rumah saudara saya di Kelurahan Palasari Kecamatan Cibiru Kota Bandung, Jawa Barat.
Ibu saya bercerita bahwa daerah ini termasuk kawasan inspiratif dan pernah beberapa kali mendapatkan penghargaan karena kebersihannya. Manajemen sampah dan limbah rumah tangga sudah berjalan cukup efektif di kawasan Cibiru sehingga rasanya amat jarang sekali melihat sampah-sampah berserakan di jalanan.
Melihat kondisi lingkungan yang bersih di tempat ini saya jadi ingat cerita teman saya yang pernah mukim di Jepang. Kebiasaan orang Jepang itu terlihat berbeda dengan di Indonesia saat memilah sampah. Dan itulah yang juga dilakukan oleh warga setempat hingga saat ini.
Berkat prestasi itulah Pemkot Bandung menghadiahkan sebuah digester kepada warga. Masih menurut cerita ibu saya, saat itu tidak ada satupun warga yang mau menerima karena belum mengetahui betul manfaatnya. Apalagi harus menyediakan sepetak tanah untuk kolam digesternya.
Akhirnya saudara saya yang bersedia menerima hibah tersebut dan menyediakan sebidang tanah di belakang rumahnya. Kolam digester ini kira kira luasnya sekitar delapan meter persegi dengan kedalaman sekitar antara 60 cm hingga 1 meter. Secara fisik tidak jauh berbeda dengan kolam penampungan air biasa.
Jadi, di rumah Abdurrahman memang sudah disediakan ember khusus berisi sepertiga air. Ember tersebut ternyata memang ditempatkan khusus untuk limbah organik atau sampah organik seperti bekas sayur-sayuran, bekas kulit buah atau sampah organik lain yang bisa terurai dalam tanah.
Sampah organik itulah yang akan menjadi bahan bakar untuk menghasilkan biogas. Sampah tersebut kemudian di masukkan ke dalam lubang di atas digester. Cara memasukkannya juga sangat unik karena Abdurrahman memerlukan sebuah tongkat dengan pendorong di ujungnnya.