Kalau MURI mau mencatat mungkin saya lah yang pertama kali tercatat sebagai mahasiswa yang mengulang mata kuliah Bahasa Indonesia sebanyak dua kali. Jurusan saya memang Bahasa Inggris, tapi bukan berarti saya tidak suka Bahasa Indonesia. Nilai rata-rata di rapor sejak SD untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia saya cukup baik. Meskipun tidak istimewa tapi tetap saya menyukai Bahasa Indonesia karena saya dibimbing oleh guru Bahasa Indonesia yang menyenangkan.
Lalu keadaan itu berbalik 180 derajat. Dosen saya tidak memberikan pengajaran yang menarik. Beliau bahkan sempat-sempatnya merokok di kelas sambil mengajar. Tapi, belakangan ini kabarnya beliau tidak pernah melakukannya lagi. Alhamdulillah.
Saya merasa heran mengapa di semester pertama saya mendapatkan nilai E untuk mata kuliah Bahasa Indonesia. Kemudian pada saat semester pendek saya mengulang mata kuliah Bahasa Indonesia. Lagi-lagi saya mendapatkan nilai yang tidak memuaskan alias D. Huh, kesal juga dibuatnya.
Akhirnya saya belajar keras dan berjanji mendapatkan nilai A untuk mengulang pada tahun berikutnya meskipun harus bergabung dengan adik-adik kelas lainnya. Stigma mahasiswa mengulang itu sudah pasti buruk. Tapi saya tidak peduli dengan stigma demikian.
Suatu saat ternyata saya mengetahui apa sebabnya saya selalu mengulang. Itupun setelah teman saya berbaik hati setelah saya curhat padanya. Usut punya usut ternyata sang Dosen meWAJIBkan mahasiswanya untuk membeli buku yang dijadikan "kitab sucinya".
Nah saya termasuk yang membandel karena saya memiliki buku pegangan lain yang bukan disarankan pak Dosen. Karena hampir putus asa akhirnya saya membeli juga buku yang dijadikan rujukan. Wah ternyata ajaib. Akhirnya saya mendapatkan nilai B. Dan rasanya memang sudah tidak mungkin mendapatkan A karena saya sudah mengulang dua kali.
Kejadian ini ternyata berulang setiap tahun. Beberapa mahasiswa yang tidak lulus hampir dipastikan tidak memiliki buku rujukan sang dosen.
Dari pengalaman tersebut saya belajar bahwa mengajarkan dan membuat orang lain cinta pada Bahasa Indonesia itu memang tidak mudah. Faktornya bisa bermacam-macam. Untuk kasus saya mungkin faktor eksternal yang menyebabkan kecintaan daya terhadap Bahasa Indonesia sedikit demi sedikit menjadi pudar.
Namun, kepercayaan diri dan kecintaan yang ditanamkan guru saya ketika SMP membuat saya pantang menyerah. Apalagi saya pernah mendapatkan sebuah hadiah karena mengirimkan sebuah opini di salah satu majalah remaja pada saat saya SMA. Dari situlah kecintaan saya terhadap Bahasa Indonesia mulai terpupuk.
Pelajaran kedua, saya berterimakasih pada dosen saya karena saya jadi lebih mahir berbahasa Indonesia dibandingkan teman-teman saya yang hanya butuh sekali mengikuti perkuliahan. Konsistensi dan keteguhan tersebut mengajarkan saya banyak hal. Saya jadi banyak membaca dan menganalisa beberapa kesalahan ketika membaca artikel/berita/reportase di televisi.
Saya masih ingat betapa masih banyaknya pejabat yang mengucapkan agar supaya dan adalah merupakan berkali-kali setiap wawancara. Oleh-oleh itulah yang menjadi kenang-kenangan mengapa sampai saat inisaya merasa lebih nyaman berbahasa Indonesia. Kesan belajar Bahasa Indonesia yang berliku seperti itu begitu membekas. Maka ketika ada lomba menulis saya selalu berusaha sebaik mungkin menggunakan Bahasa indonesia yang baik dan benar.
Alhamdulillah dari kegagalan-kegagalan tersebut saya bisa menuai hasilnya. Beberapa tulisan saya baik di Kompasiana maupun di blog dan komunitas menulis lainnya mendapatkan penghargaan. Saya merasa bahagia ketika pembaca (juri) memahami tulisan saya seolah mereka mengetahui isi hati saya bahwa saya pernah gagal dan kali ini saya pasti menang.
Salam hangat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H