Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Rambut Panjang, Guru, dan Banci Salon

22 April 2012   14:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:17 1363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi guru memang harus mau sedikit repot. Harus berpakaian rapi dan berpenampilan klimis. Apalagi masalah rambut. Rambut seorang guru tentu harus lebih pendek dibandingkan dengan muridnya. Kalau bisa cepak lebih bagus. Ukuran ideal panjang pendeknya rambut sudah kita sepakati sejak zaman SD dulu. Kalau rambutnya di tarik ke depan tidak boleh lebih dari alis mata. Kalau rambutnya di tarik ke samping tidak boleh menutupi daun telinga. Terakhir jika ditarik ke belakang tidak boleh lebih dari kerah pakaian seragam.

Wajar jika guru harus memberikan suri tauladan dengan baik. Berambut pendek termasuk memberikan contoh baik. Tapi ada lho ternyata guru yang nyentrik seperti almarhum pak wamen ESDM. Sebut saja namanya Jambrong. Dulu, Jambrong adalah senior saya di lembaga bimbel tempat dimana saya bekerja. Hanya saja Jambrong bukan guru tetap. Jambrong sudah lebih dulu mengajar sebagai guru bimbel. Jambrong terkenal karena rambutnya yang panjang hingga sebahu.

Karena gaya nyentriknya ini Jambrong disukai anak-anak. Selain rambutnya yang panjang, Jambrong pun di sukai karena gaya mengajarnya yang asyik, santai tapi bisa nyambung. Meskipun gayanya selengean, untuk hal kedisiplinan Jambrong nomor satu. Selain mengajar, Jambrong juga mendidik anak-anak. Memberikan petuah-petuah untuk kebaikan anak-anak dan turut mengajari budi pekerti yang baik. Mengajar mungkin bisa diartikan sebatas transfer ilmu. Sedangkan mendidik lebih dari sekedar transfer ilmu.

Aneh memang. Jambrong yang gondrong mengajari anak-anak untuk berprilaku baik. Tapi jangan salah. Stigma rambut gondrong identik dengan kejahatan dan kekumelan itu kan cuma anggapan sebagian orang saja. Buktinya banyak kok orang yang memiliki rambut gondrong tapi berhati malaikat seperti Jambrong. Maka tak perlu disalahkan jika Jambrong mendidik anak-anak tentang budi pekerti. Lagi pula anak-anak sepertinya lebih patuh sama Jambrong ketimbang dengan guru lainnya. Itulah kelebihan dan keunikan Jambrong. Dengan gayanya yang gondrong, tapi disukai anak-anak brondong.

Ngomong-ngomong rambut panjang, seumur hidup saya belum pernah memiliki rambut panjang. Banyak banget kendalanya untuk memiliki rambut panjang. Cita-cita sih punya rambut panjang sebahu. Biar bisa kibas kanan kibas kiri. Tapi cita-cita tinggallah cita-cita.

Waktu masih pelajar jelas tidak bisa. Kesempatan satu-satunya waktu itu memang saat jadi mahasiswa. Dasar apes, ternyata fakultas memberlakukan peraturan baru bagi mahasiswa Fakultas Tarbiyah. Di UIN Syarif Hidayatullah, Tarbiyah adalah jurusan bagi mereka yang bercita-cita menjadi guru. Masa calon guru rambutnya panjang? Alasan inilah yang digunakan Fakultas untuk melarang mahasiswa Tarbiyah berambut panjang. Diskriminasi bukan? Masa cuma anak Tarbiyah aja yang dilarang punya rambut panjang? Kadang kita yang kuliah di Tarbiyah suka iri sama Fakultas lainnya. Duh kayaknya keren lah punya rambut panjang waktu itu. Tapi jujur sih di UIN jarang ada mahasiswa yang punya rambut panjang. Kalau rambutnya panjang ketahuan biasanya dia anak Forkot (Forum Kota) yang dikenal sebagai dedengkot kampus yang doyan demo. Demo apa aja pasti ada anak Forkot. Hehehe

Inget rambut panjang pasti inget juga tukang cukur. Banyak lelucon yang menceritakan bahwa orang yang paling berkuasa itu ya tukang cukur. Lho kenapa? Soalnya Presiden aja pasti nurut sama tukang cukur. Kalau gak nurut ya jangan harap hasilnya bagus. Bisa-bisa telinganya kepotong gunting.

Waktu SD di Bandung dulu. Saya ingat banget suka cukur rambut sama abang-abang yang mangkal di DPR (Dibawah Pohon Rindang). Tempatnya persis di depan Pasar Simpang Dago. Tarifnya murah banget waktu itu. Cuma seribu aja. Makanya hampir tiap satu setengah bulan sekali saya suka dibekelin uang dua ribu sama nenek saya buat cukur rambut. Ongkos pulang pergi naik angkot seribu, nah yang seribunya buat cukur rambut.

Awalnya sih saya enjoy banget bisa di cukur di tempat itu. Tapi suatu saat kakek saya mengenalkan saya dengan barber shop. Sebenernya sama-sama tukang cukur. Yang satu melayani di bawah pohon rindang, yang satu lagi sudah melayani di sebuah ruangan khusus mencukur rambut para pelanggannya. Tempatnya sampai saat ini masih ada. Persis di samping bubur Ayam Pak Zaenal di Simpang Dago juga.

Disitulah saya merasakan bahwa tukang cukur itu lebih manusiawi. Apalagi tempat duduknya khusus tempat duduk untuk mencukur rambut. Bisa sambil senderan. Sedangkan di bawah pohon rindang kursinya pake kursi reyot persis kayak kursi di sekolah. Cerminnya cuma seukuran wajah. Kalau di barber cermin hampir mengelilingi wajah kita. Didepan cermin lebar tersedia. Di belakang juga ada. Wah pokoknya mewah lah.

Pelayanannya juga berbeda. Tukang cukur di barber shop megang kepala kita dengan lembut. Geser kepala kita sedikit ke kanan aja selalu bilang permisi. Kalau di DPR boro-boro permisi, geser kepala kita bener-bener kayak orang nekan kepala kita. Kalau di barber shop lembut banget. Gara-gara itu saya suka minta jatah lebih kalau mau di cukur. Udah bosen cukur di DPR.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun