Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

LPDP Berikan Beasiswa Bergengsi, Siapkan Pemimpin Masa Depan

15 April 2014   18:06 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:39 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negara Indonesia dikenal memiliki sumber daya alam yang melimpah. Mulai dari tambang, hutan, pertanian, hasil kelautan bahkan jumlah populasi penduduknya yang merupakan market terbesar bagi industri maju dunia. Maka, tak heran jika Indonesia memiliki daya tarik yang tak habis-habisnya di mata dunia. Semua seolah berbondong-bondong melakukan investasi dan pemasaran di bumi pertiwi. Ironisnya, dengan potensi kekayaan alam sedemikian rupa, ternyata kehidupan rakyatnya masih jauh dari kata layak. Hampir sebagian besar potensi sumber daya alam Indonesia masih di kelola oleh pihak asing. Dengan kenyataan demikian, Indonesia masih dianggap sebagai penduduk yang paling konsumtif dibandingkan sebagai penduduk yang gemar membuahkan produk inovatif dan kreatif.

Semua kekayaan yang diambil dari perut bumi Indonesia dalam pandangan masyarakat awam, hampir sebagian besar pun diolah diluar negeri, kemudian dijual kembali dengan harga yang sangat tinggi pada rakyat Indonesia setelah menjadi sebuah produk jadi. Indonesia adalah eksportir bahan mentah terbesar sekaligus importir barang jadi terbesar. Mirisnya lagi, kita, bangsa Indonesia merasa bangga dengan produk luar negeri yang bergengsi, prestisius karena mahal dan berkualitas. Sebaliknya, kita malah merasa malu karena menggunakan produk lokal yang dianggap ecek-ecek meskipun memiliki kualitas yang tak jauh berbeda nan berharga murah. Itulah sekelumit permasalahan yang di potret oleh para pemangku kebijakan. Singkatnya, diharapkan tidak ingin ada lagi Newmont baru atau Freeport baru. Mereka ingin semua kekayaan Indonesia di kelola dan menghasilkan manfaat sebesar-besarnya demi kepentingan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 33.

Sayangnya, jumlah SDM kita yang terdidik dan berdedikasi tinggi pada negara, masih kalah di bandingkan dengan negara tetangga. Tak sebanding rasanya jumlah lulusan master dan doktor di Indonesia dengan proporsi populasi yang tersebar. Artinya dengan sumber daya alam yang melimpah, akan sia-sia jika tidak bisa diolah dan di kelola oleh bangsa sendiri sehingg bermanfaat dan menguntungkan rakyat banyak.

Ironisnya lagi melihat rendahnya lulusan master dan doktor di Indonesia, justru biaya pendidikan di Indonesia mahal dan terkadang sistemnya njelimet. Malaysia sudah lebih dulu memberikan pendidikan murah bagi warganya dengan pemberian subsidi dan insentif pada dunia pendidikan. Sementara Indonesia, kementerian yang dianggap paling korup salah satunya adalah Kementerian Pendidiakan dan Kebudayaan. Alokasi anggaran 20% untuk pendidikan diduga di permainkan dengan sistem baru dan kebijakan baru yang justru dampaknya menyulitkan perkembangan dan kemajuan pendidikan Indonesia.

Berbagai kepentingan tersebut membuat kebijakan satu dengan lainnya bertabrakan. Tidak ada benang merah yang menyatukan sehingga seolah anggaran dari pajak rakyat menguap dengan sia-sia karena berbagai kepentingan tersebut. Mereka yang berpendidikan dan berdedikasi tinggi dengan berani kembali ke tanah air malah diabaikan dan ditelantarkan oleh pemerintahnya sendiri. Berada dalam posisi yang sangat dilematis. Kerja di luar negeri dituding tidak berdedikasi serta di cemooh saudara sendiri, kembali ke bumi pertiwi harus mengemis-ngemis bak anak tiri.

Tapi, masih ada asa disana, pada sebagian putra putri pertiwi yang merasa bertanggung jawab terhadap generasi selanjutnya. Masih ada sinar terang di ujung jalan yang menunggu dalam gua gelap nan belumpur. Masih ada serat-serat kayu yang berbulir air sehingga menolong bangsa ini dari dahaga keterbatasan pemimpin bangsa. Semua dapat terjawab sebagai salah satu alternatif solusi bangsa yang mandeg ini. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (selanjutnya di sebut LPDP) yang di bentuk pada tahun 2010 sebagai satuan kerja dibawah naungan Kementerian Keuangan melalui PMK nomor 252 tahun 2010 ditunjuk sebagai lembaga yang mengelola dana abadi dari tiga kementerian yakni kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama.

[caption id="" align="aligncenter" width="403" caption="Narasumber dari LPDP"]

[/caption]

Sekitar 50 kompasianer diundang untuk hadir untuk mengetahui lebih dekat apa itu LPDP dan kiprahnya selama ini. Pada tanggal 12 April 2014, bertempat di gedung A.A. Maramis II, seorang Pahlawan Indonesia yang dikenal juga sebagai Mentri Keuangan kedua RI, Kementerian Keuangan, Jl. Banteng Timur No. 1 Jakarta. Beberapa admin Kompasiana telah lebih dahulu stand-by di ruangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun