Yth. Bapak Kwik Kian Gie,
Perkenankan saya terlebih dahulu untuk memperkenalkan diri saya. Pak Kwik, saya terlahir di sebuah kampung miskin di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah sana. Saya termasuk sedikit kalo tidak satu-satunya dari sekain banyak anak-anak kampung yang beruntung bisa menikmati pendidikan tinggi. Sebagian besar dari mereka terpaksa putus hanya sampai Sekolah Dasar. Sebagian kecilnya beruntung sampai tingkat SMP. Saya paling beruntung hingga tamat perguruan tinggi. Bukan karena berasal dari keluarga kaya. Ayah saya hanya seorang guru kampung golongan IIA. Ibu saya hanya seorang ibu rumah tangga, dengan 9 orang anak. Karena tekad sayalah, orang tua saya mencarikan biaya dengan berhutang untuk 2 tahun saja, selebihnya harus ditanggung sendiri. Terus terang, bagaimanapun buruknya Regim Pak Harto, beasiswa Supersemar telah menolong saya untuk biaya setahun berikutnya. Tahun-tahun sesudahnya, Alhamdulillah tertolong oleh beasiswa dari sebuah perusahaan swasta.
Sedikit latar belakang saya tersebut perlu saya sampaikan ke Pak Kwik paling tidak agar pandangan dan tanggapan saya nanti mengenai opini dan analisis-analisis Bapak sedikit banyak mencerminkan pandangan sesungguhnya orang-orang di kampung yang mungkin Bapak belum pernah punya pengalaman dan merasakan sendiri tinggal di dalamnya.
Pak Kwik yang terhormat,
Saya dapat email mengenai tulisan Bapak berjudul “Kontroversi Kenaikan Harga BBM” dari seorang teman. Karena penasaran, saya coba cari dan buka halaman blog Bapak (Forum Kwik Kian Gie). Saya baca dan coba pahami. Sangat menarik, lugas dan gamblang meskipun terkesan sedikit “menghasut”, terlihat dari pilihan-pilihan kata Bapak. Saya cukup maklum, meskipun Bapak juga dikenal sebagai ekonom yang cukup disegani di tanah air, sebagai politisi kawakan sebuah partai besar, nuansa politis tulisan Bapak juga tak terlalu sulit kami tangkap. Terus terang, saya bukan simpatisan salah satu parpol. Tak pernah sekalipun ikut partisipasi Pemilu legislatif. Hanya sekali ikut menggunakan hak saya untuk memilih pada saat Pemilu presiden terakhir kemarin. Itupun karena bujukan istri setelah dikirimi surat suara dari Kedubes. Dan ternyata kecewa besar.
Pak Kwik,
Mohon dimaafkan sebesar-besarnya kalo saya menangkap kesan demikian atas tulisan Bapak. Orang lain tentunya punya kesan yang berbeda. Terbukti hampir semua komentar atas tulisan di blog Bapak tersebut mengamini dan setuju dengan pandangan Bapak tersebut. Wallahualam, kalo itu hasil dari moderasi dan approval pengelola blog Bapak.
Pak Kwik,
Menurut hemat saya, tulisan Pak Kwik tersebut, khususnya terkait versi brilian perhitungan subsidi BBM sebagai tandingan versi pemerintah, sedikit banyak membuka mata kami bahkan mungkin telah mengubah cara pandang masyarakat khususnya mahasiswa terhadap persoalan subsidi BBM mengingat Bapak merupakan salah satu ekonom berpengaruh dan disegani di tanah air. Tentu saja saya tidak sedang menduga-duga kalo Bapak dibelakang aksi demonstrasi tersebut.
Menurut saya pribadi, perhitungan subsidi BBM versi Pak Kwik patut mendapat perhatian besarpemerintah. Sebagai seorang ekonom kondang dan dibesarkan dalam tradisi ilmiah yang hebat di luar negeri, tentu saja versi Pak Kwik mengenai perhitungan subsidi BBM telah melalui proses diseminasi di kalangan ekonom sekitar, paling tidak dalam internal partai. Dengan demikian, versi perhitungan subsidi Pak Kwik tentunya bukanlah gagasan sembarangan dan main-main.
Ada satu pertanyaan yg menggelitik saya terkait versi perhitungan subsidi Bapak yang lebih mendasarkan pada kalkulasi biaya pokok produksi minyak di dalam negeri karena bangsa Indonesia memiliki minyak dalam perut buminya sehingga perhitungan subsidi minyak yg berdasar selisih harga merupakan kebohongan. Pertanyaan bodoh saya adalah; seandainya menurut Pak Kwik biaya penyediaan bensin di dalam negeri memang Rp4500/liter sementara di pasar internasional sebesar Rp5944/liter, apakah itu tidak sama saja seandainya pemerintah menjualnya di luar negeri kemudian memberikan selisihnya kepada pengguna di dalam negeri dari hasil penjualan di luar negeri atau menggunakannya untuk subsidi langsung kepada masyarakat yang mana lebih tepat sasaran? Mohon kami diberikan penjelasan gamblang terkait ini, karena kami pernah belajar mengenai konsep opportunity cost di S1 dulu. Atau jangan-jangan konsep opportunity cost itu sejatinya tidak ada (doesn’t make any sense)?
Pak Kwik,
Saya sangat mengapresiasi tulisan Bapak tersebut yang menurut banyak pihak sangat lugas, jujur, dan mencerahkan. Hanya saja, kesan pribadi yang saya tangkap hanya menonjolkan aspek anggaran dan tak sulit menangkap nuansa politknya. Pun banyak media dan politis telah mereduksinya pada isu-isu itu juga. Menurut hemat kami, banyak persoalan urgen terkait subsidi BBM yang terlupakan atau malah di sembunyikan. Menurut hemat kami, informasi yang sampai kepada masyarakat menjadi tidak utuh bahkan menyesatkan. Persoalan permainan politik dibalik subsidi BBM, keadilan (siapa yg menikmati) dan persoalan ketahanan energy tidak pernah disentuh.
Pak Kwik,
Agar pemahaman kami lebih utuh mengenai persoalan subsidi BBM, mohon Bapak berkenan menjawab secara jujur, lugas dan gamblang atas keingin tahuan kami berikut ini.
(i)Apakah benar subsidi BBM telah menjadi alat politik partai-partai untuk mewujudkan kepentingannya?. Saya mengamati kebijakan penyesuaian harga BBM sejak Orde Baru hingga 2009 ternyata terjadi selalu 1 tahun setelah pemilu, tidak pernah 1 tahun sebelum Pemilu, kecuali 2008 kemarin, meskipun kemudian SBY menurunkannya 3 kali 5 bulan menjelang Pemilu. Kalo benar, sebagai seorang ekonom, apakah Bapak akan bersikukuh untuk mempertahankan BBM sebagai objek kepentingan politik? Saya pribadi mutlak berpendapat untuk segera melakukan depolitisasi subsidi BBM dengan menggantinya menjadi subsidi langsung kepada masyarakat. Pangan, kesehatan dan pendidikan wajib hukumnya untuk dijamin oleh pmerintah dari pada BBM.
(ii)Kalo memang alasannya adalah melindungi rakyat miskin, apakah subsidi BBM merupkan pilihan kebijakan terbaik? Tentunya Pak Kwik telah banyak melanglang buana. Di negara-negara penganut neo-liberal (mengikuti stigmatisasi banyak kalangan di Indonesia), sepertinya pemerintahan mereka lebih pro rakyat dari pada di Indonesia. Di negara-negara tersebut (contoh USA dan Australia), rakyat dijamin akan akses pangan (cash transfer dan food stamps), akses untuk pelayanan kesehatan dan pendidikan setinggi-tingginya (student loan di USA dan HECS di Australia). Anak-anak yang pintar tidak perlu khawatir tidak ada biaya. Bandingkan dengan di Indonesia! Tidakkah terpikirkan untuk menggunakan dana subsidi yang konon lebih dari Rp250 trilyun untuk menjamin kebutuhan-kebutuhan dasar seperti ini?
(iii)Tampaknya Bapak juga belum pernah menyentuh mengenai aspek keadilan. Ada dua hal terkait ini; (i) keadilan antar kelompok pendapatan masyarakat, dan keadilan antar generasi. Pertanyaannya; mohon dijelaskan sejujur-jujurnya dengan data yang bisa dipercaya, siapa sebenarnya yang menikmati subsidi BBM? Mohon jelaskan juga bagaimana dengan rasa keadilan Bapak dengan generasi mendatang kalo konsumsi BBM dibiarkan boros karena harga yg begitu murah.
(iv)Mohon dibuatkan perbandingan yang sepadan mengenai harga jual BBM dalam negeri dari beberapa negara yang Bapak tampilkan di tulisan Bapak menyangkut jumlah cadangan minyaknya, jumlah penduduknya, dan konsumsi per tahun BBM-nya. Jangan hanya harganya. Menurut saya membandingkan Indonesia dengan negara2 tersebut sangat tidak benar. Contoh Iran, cadangan minyak kita hanya sekitar 4 milyar barel sementara Iran hampir 140 milyar barel, jumlah penduduk kita 240 juta, iran hanya sekitar 40 juta. Brunei juga begitu, dengan penduduk hanya sekitar 400 ribu, gratispun rasanya mereka sanggup.
(v)Pada saat Partai bapak menang Pemilu, Bapak memegang portofolio penting di negeri ini, mengapa ide-ide brilian dan revolusioner Bapak tidak diterapkan? Padahal Bapak memegang portofolio tersebut pada momen yang sangat tepat, Partai Bapak menang Pemilu dan Ketua Partai Bapak sebagai presiden. Saya mencoba membuka-buka kembali dkumen letter of intent (LOI) antara Indonesia dengan IMF, dalam LOI tahun 2000, Bapak merupakan salah satu wakil Pemerintah Indonesia yang ikut menandatangani LOI tersebut dimana didalamnya ada poin menyangkut reformasi energy. Saya cuplikan saja. Artikel 80, “...In the oil and gas sector, the government is firmly committed to the following actions: replacing existing laws with a modern legal framework; restructuring and reforming Pertamina; ensuring that fiscal terms and regulations for exploration and production remain internationally competitive; allowing domestic product prices to reflect international market levels; and establishing a coherent and sound policy framework for promoting efficient and environmentally sustainable patterns of domestic energy use...”. Sebagian besar artikel dalam LOI mengenai sector energy juga tercermin pada UU Migas No22/2001 yang bapak permasalahkan dalam tulisan Bapak. Mohon kiranya Bapak berkenan menjawab sejujur-jujurnya mengenai hal ini sehingga respek kami atas kejujuran, kelugasan, dan komitmen keberpihakan Bapak pada rakyat tetap bisa kami jaga.
(vi)Terakhir, kira-kira apa kaitannya pengenaan harga murah BBM di dalam negeri dengan prospek pengembangan energi terbarukan lainnya serta dampaknya terhadap prospek investasi di bidang energy?
Demikian surat terbuka kami. Mohon maaf apabila terlalu panjang karena semata didasarkan pada keinginan kami mengetahui secara utuh persoalan subsidi BBM yang saat ini tengah memanas.
Salam hormat dari kami,
Fikar Rahman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H