Fenomena-fenomena menarik yang mengundang perdebatan akhir-akhir ini sering masif terjadi. Fenomena ini entah murni tak sengaja ter-up ataupun bisa jadi disengaja untuk menggiring opini publik. Publik tadinya ramai mendiskusikan dan menyelesaikan masalah yang menjadi prioritas penting untuk diselesaikan, tetapi secara tidak sadar kita malah di giring dan disibukan kepada hal-hal yang semestinya tidak terjadi dalam situasi saat ini.
Fenomena yang hangat diperbincangkan adalah mengenai pernyataan Habieb Ja'far di salah satu acara YouTube bersama Nagita Slavina. Tak hanya mengundang Habieb Ja'far, Nagita Slavina-pun mengundang dua pasangan yang menjadi buah bibir masyarakat akhir-akhir ini yaitu Thoriq Halilintar dan Fuji.
Dalam potongan talkshow (wawancara) yang tersebar di internet (terutama platform tiktok), Habieb Husein Ja'far mengatakan bahwa pacaran itu bisa saja disebut seperti ta'arufan. Pernyataan tersebut mengundang banyak komentar dari pelbagai macam pegiat sosial media. Namun, penulis menyarankan untuk kita semua agar melihat hasil pernyataan tersebut secara keseluruhan tidak setengah-setengah asal menilai video orang lain yang telah dipotong agar nantinya tidak menimbulkan mispersepsi dan memahami konteks yang ada secara keseluruhan.
Untuk menghindari perdebatan yang panjang mengenai konsep pacaran dan ta'arufan. Penulis akan mencoba untuk melihatnya dari segi sejarah, definisi dan makna mengenai hubungan pacaran atau ta'arufan tersebut.
SEJARAH ADANYA HUBUNGAN MANUSIA (BERPACARAN) ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUANÂ
Di kutip dari idn times, sejarah hubungan antar kedua insan laki-laki dan perempuan diawali pada saat selesainya perang Dunia I. Saat itu, di Barat, hubungan antara laki-laki dan perempuan harus selalu sejalan dengan kemauan orang tua. Artinya, sang anak harus menikah sesuai dengan kriteria yang orang tua inginkan atau kita sebut hal ini sebagai era perjodohan. Dalam perjodohan ini, mungkin belum tentu sang anak benar-benar mau dengan orang yang di jodohkan oleh orang tuanya tersebut, atau bahkan karena akibat perjodohan ibaratnya seperti membeli kucing dalam karung, yang tadinya tujuan menikah untuk mendapatkan kebahagiaan justru malah sebaliknya.
Hingga pada akhirnya adanya hubungan laki-laki dan perempuan ini mendobrak budaya perjodohan yang bias dengan persepsi keterikatan itu sendiri.
Dalam sejarahnya, tujuan adanya hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah menemukan pasangan yang tepat untuk menikah. Ini yang perlu garis bawahi bahwa tujuan pacaran pada saat itu murni karena untuk menikah. Artinya tujuan pacaran disini adalah untuk menemukan pasangan yang tepat sebelum kejenjang suci yang lebih serius.
 Saat jaman dulu pula, tujuan hubungan tersebut diketahui oleh orang tua (tidak diam-diam seperti yang dilakukan oleh generasi saat ini). Dalam sejarahnya, hubungan itu ada berarti bukan hanya untuk mengusir rasa sepi, bukan hanya untuk sekadar agar terlihat laku oleh orang lain, bukan hanya untuk ajang pemuas hawa nafsu. Tapi tujuan memiliki hubungan atau keterikatan adalah untuk menikah, agar pada saat menikah pasangan tidak salah pilih yang pada akhrnya menyebabkan tidak enak hati saat mengetahui bahwa pasangan yang setiap hari akan selalu berada di samping kita nyatanya malah akan memperdaya kepada ketidak baikan. Begitulah tujuan memiliki hubungan pada saat jaman dulu.
SEJARAH KATA "PACARAN"
Kata "Pacaran" Merupakan kata yang digunakan oleh masyarakat melayu untuk menjalin hubungan sebelum ke jenjang pernikahan. Dulu di Melayu, kata "Pacar" berasal dari sebutan sebuah pewarna kuku atau sering disebut oleh orang Melayu jaman dahulu dengan sebutan ‘Inai’. Pada saat itu di Melayu apabila ada seorang pemuda yang tertarik pada seorang gadis, pria tersebut akan menyinggahi tempat kediaman gadis yang dia inginkan dengan mengirimkan tim Pantun ke kediaman gadis tersebut. Jaman dulu untuk menarik hati perempuan biasanya dilakukan dengan berbalas pantun antar kedua pihak.