Perkembangan dunia yang semakin cepat, tidak hentinya membuat kita berpikir untuk bisa memenuhi kebutuhan salah satunya dengan sarana teknologi. Hasil yang ditimbulkan dari kemajuan teknologi ini berjalan pula dengan arus informasi yang cepat menyebar ke masyarakat. Contohnya, dulu, untuk bisa mengetahui definisi kata kita perlu membuka berlembar-lembar buku ensliklopedia, tapi saat ini hanya dengan melalui menu pencarian yang tersambung ke jaringan internet, kita langsung menemukan definisi kata yang kita cari. Begitupun, untuk melihat dan menyebarkan suatu berita maupun informasi, dulu kita perlu melihatnya dikoran, televisi, perpustakaan atau bahkan harus ber-Sekolah untuk mencari ilmu pengetahuan dll., tapi saat ini hal tersebut ada dimana-mana, begitu mudah dan cepatnya kita untuk menemukan informasi, tidak hanya melalui platform berita, educational-tech, tetapi informasi dan pengetahuan tersebut tersebar pula di sosial media.
Cepatnya arus informasi yang terjadi selain dari media berita atau platform informasi lainnya dibarengi pula dengan maraknya berbagai macam postingan pencapaian diri di sosial media, hal ini sangat berdampak terhadap masyarakat yang belum bisa mengendalikan (mengontrol) dirinya. Dampak dari tidak bisanya mengendalikan diri tersebut membuat kita sebagai pengguna internet merasa sering overthingking dan insecure dikarenakan membandingkan diri secara apple to apple kepada pengguna sosial media yang lain. Melihat keresahan tersebut akhirnya ada orang yang tergerak untuk membuat informasi mengenai tips kesehatan mental lalu membagikannya di sosial media. Salah satu informasi yang disebarkan ke sosial media adalah mengenai social media self care. Social media self care merupakan suatu cara untuk netizen (masyarakat pengguna internet) agar bisa mengontrol diri dari dampak negatif yang ditimbulkan sosial media sehingga lebih peduli terhadap kesehatan mental dirinya. Cara-cara yang digunakan tersebut yaitu dengan; Memblokir sosial media yang membuatmu tidak bahagia, meng-unfollow akun-akun yang memberikan dampak negatif terhadap kesehatan mental kita, tidak merespons semua hal yang ada di sosial media (bila perlu) dan mematikan notifikasi bila tidak dibutuhkan. Penulispun mencoba untuk melakukan rangkaian cara social media self care tersebut, hasilnya, cara itu sangat berdampak positif untuk kesehatan mental. Cara itu mungkin bisa di coba oleh pembaca yang saat ini berada dalam masa overthingking dan insecure terhadap yang dimiliki. Tapi disini, penulis tidak akan membahas hal tersebut lebih dalam karena ranah kesehatan mental bukan ranah penulis secara akademik, kita perlu mencoba kembali untuk melihat informasi ini secara lebih dalam ke para ahlinya atau membacanya melalui artikel dan penelitian-penelitian berbentuk jurnal dll agar lebih akurat.
Sebagai ummatan wasathan, yaitu masyarakat yang hidup harmonis atau masyarakat yang berkeseimbangan mengharuskan kita untuk menjadi manusia yang tidak berlebihan terhadap sesuatu, artinya, harus berimbang (pertengahan). Sama seperti social media self care yang di sebarkan kepada netizen terutama netizen di sosial media, seharusnya kita tidak serta merta memandangnya dari satu sisi (ekstrim;berlebihan). Maksud berlebihan disini adalah harus menyesuaikan dengan porsi kebutuhannya masing-masing. Lantas mengapa social media self care tidak bisa diikuti secara berkepanjangan atau terus-terusan? Karena dampak yang di timbulkan bila menggunakan cara social media self care tersebut secara berlebihan dan berkepanjangan bisa jadi akan menimbulkan tingkat individualisme yang tinggi, mengapa? Karena kita memblokir/unfollow/mute semua hal yang kita anggap berdampak negatif bagi diri kita sehingga menjadikan kita kurang peduli terhadap sesama. Lantas kenapa kita harus peduli terhadap sesama (tidak individualis)? Sejak kita sebagai manusia lahir kebumi, manusia tidak lahir begitu saja, tentu kita perlu bantuan orang lain, sesudah lahir kita di ajarkan berbicara, berjalan, mengenal dunia, bertatakrama oleh orang lain. Saat meninggalpun kita perlu orang lain untuk mengurus kita, atau bahkan setelah kita sudah di alam kuburpun kita perlu orang lain untuk mendo’akan kita, lantas adakah manusia yang bisa hidup sendiri (individualis)? Tentu tidak ada, kita perlu bantuan orang lain untuk segala sesuatunya. Lantas bagaimana agar kita bisa bekerjasama dengan orang lain dan orang tersebut sama-sama merasa nyaman dengan kita? Berarti kita perlu menjadi manusia baik, manusia yang bermanfaat, peduli terhadap sesama agar pada saat meninggal-pun masih ada orang-orang yang mau mendo’akan kita begitupun kita bila di sosial media.
Dalam Q.S Al-Hujarat ayat 10 dijelaskan bahwa kita harus menjadi makhluk yang bisa menjaga hubungan, bahkan bisa berdamai dengan sesama. Selain itu jangan saling merendahkan yang menimbulkan perpecahan. Dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia di sosial media, ada perspektif menarik dalam wawancara Cania Citta di buku berjudul “Filosofi Teras” yang di tulis oleh Henry Manampiring. Dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa jika kita memblock/unfollow/mendelet akun, status atau komentar orang-orang yang merendahkan kita di sosial media berarti ini membuang kesempatan kita kepada seseorang untuk menjadi positif di media sosial. Dengan memblokir atapun men-delet apapun yang ada di sosial media kita hanya men-deny (menyangkalnya) saja, tapi orang yang merendahkan kita tetap ada (tetap berkeliaran). Jika diibaratkan hal ini seperti mobil yang tabrakan di jalan, mobil itu rusak tetapi pemilik mobil tersebut meninggalkan begitu saja di jalan tanpa membawanya ke bengkel, lantas apakah dengan membiarkan mobil itu tetap berada di jalan akan menyelesaikan masalah? Tentu tidak, mobil itu akan masih ada di jalan (atau bahkan menganggu pengguna jalan lain). Mobil yang rusak itu ibaratnya seperti informasi keliru atau komentar jahat yang disampaikan oleh orang-orang, jika kita memblokir/menghapus saja komentar jahat atau informasi keliru tersebut apakah jadi selesai? Tentu tidak, komentar jahat tersebut masih ada, informasi keliru tersebut masih ada dan dampaknya jika dibiarkan akan semakin parah. Maka dari itu yang ingin penulis tekankan adalah kepedulian kita terhadap sesama, jangan sampai karena hanya kita tidak suka dengan hal tersebut kita langsung block, unfollow, delete, mute dll., tapi kita sebagai makhluk sosial harus dan perlu mengingatkannya.
Dalam Q.S Adz-Dzariyat ayat 55 di jelaskan bahwa kita sebagai manusia harus memberikan peringatan (mengingatkan) kepada sesama sebagai makhluk sosial, karena dengan mengingatkan satu sama lain kita akan mendapatkan manfaatnya. Dalam Hadits dari Abu Sa’id Al Khudri r.a, Nabi Muhammad SAW memberikan tingkatan urutan dalam mengingkari kemungkaran. Beliau bersabda:
“Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman” (H.R Muslim, No. 49).
Jika kita melihat hadits tersebut berarti kita memang dianjurkan untuk saling mengingatkan/menasehati bila terjadi kemungkaran. Itu artinya tak ada lagi alasan untuk tidak perduli terhadap diri sendiri dan sesama. Dalam Islam untuk mengingatkan atau menasehati orang lain tidak serta merta diingatkan begitu saja, ada adab yang perlu dilakukan, adab ini berlaku baik di dunia nyata maupun di dunia maya, yaitu:
- Nasehat harus di dasari niat ikhlas, niat ikhlas disini berarti niat di tujukan untuk Allah Ta’ala, bukan niat menasehati karena ajang balas dendam ataupun pamer pengetahua, tetapi niatkan karena Allah Ta’ala untuk membantu sesama.
- Gunakan kata-kata yang baik, yaitu kata-kata yang penuh kelembutan dan juga hikmah. Di dalam Q.S At-Taha ayat 44 Allah SWT menghendaki Nabi Musa dan Nabi Harun mengucapkan perkataan yang lemah lembut kepada Fir’aun, Fir’aun yang jelas-jelas ke kafirannya dan kedzalimannya saja Allah SWT masih menghendaki Nabi Musa dan Nabi Harun untuk berkata lembut , lantas mengapa kita menasehati seseorang yang kedzalimannya tidak separah Fir’aun dengan kata-kata yang kasar, meyakitkan hati dengan luapan amarah sehingga membuat orang trauma? Mari renungkan lagi tentang hal ini.
- Menasehati secara sembunyi-sembunyi (Tidak di depan umum), menasehati secara sembunyi-sembunyi berarti jika di dunia nyata kita menasehatinya misalnya hanya berdua saja, antara kita dan orang yang akan di nasehati, bila di sosial media berarti kita bisa menasehatinya melalui dm/inbox karena jika menasehati di keramaian, itu sama saja seperti kita mempermalukannya. Lantas apakah berarti kita tak boleh menasehati secara terang-terangan (misal dengan langsung mengomentarinya), tentu boleh, tetapi tergantung situasi, misal bila di dm/inbox kemungkinan nasehat kita tidak di hiraukan dan orang lain-pun tidak akan ikut sadar tentang nasehat ini, tapi ini tergantung kebijaksanaan kita bagaimana kita menanggapinya walaupun demikian tetap kitapun harus menasehati dengan kata-kata yang baik.
- Tabayun (Cross-Check Berita), sebelum berkomentar atapun menyebarkan sesuatu ada baiknya kita meng-cross check terlebih dahulu apakah benar yang di sampaikan ini valid ataukah tidak sebelum kita men-judge dan mengambil sebuah kesimpulan.
- Tidak memancing keributan
- Jangan memaksa agar nasehat di terima, bila kita sudah melakukan segala cara tetapi hasil yang ditempuh tetap tidak berhasil, maka serahkan semuanya kepada Allah, karena hanya Allah Sang Maha Pembolak-Balik Hati manusia.
Dari penjelasan yang dipaparkan di atas, artinya kita sebagai manusia harus melihat segala sesuatunya dengan holistik (menyeluruh), tidak mencari pegangan hidup hanya dari satu sumber saja. Ibarat kamu akan menerangi suatu tembok yang lebar dengan senter apakah kamu menyalakan senter tersebut sangat dekat ke temboknya sehingga cahaya yang di hasilkan skalanya menjadi sedikit? Tentu tidak kan? Untuk bisa menerangi tembok lebar secara keseluruhan kamu perlu sedikit menjauh dari tembok tersebut agar seluruh tembok mendapatkan cahaya, begitu pula dengan ilmu pengetahuan, kita perlu mencari tahu secara keseluruhan agar kita bisa melihat dan menilai segala sesuatu tersebut dengan tenang dan damai. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa kita harus menuntut ilmu dari buaian sampai ke liang lahat, artinya tak ada batasan umur disini. Bisa jadi prinsip yang kau anggap baik saat ini akan berubah seiring dengan banyaknya masukan dan ilmu yang kau dapatkan, intinya teruslah belajar dan tetap menjadi seorang pembelajar dimanapun dan kapanpun.
Mungkin timbul pertanyaan dalam benak kita, jadi apakah pernyataan social media self care itu salah? Apakah pernyataan kita harus menasehati itu benar? Tak ada yang salah dan tak ada yang benar dalam ranah ini, semuanya tergantung situasi dan kondisi dari dalam diri kita, dan mungkin untuk saat ini kita memang perlu keduanya, tinggal kita memprioritaskan mana yang lebih baik. Karena sebaik-baiknya nasehat memang seharusnya dilakukan oleh seorang ahlinya, tetapi bila kamu memang mengetahui kebenarannya (walaupun bukan ranahmu) tak menjadi salah untukmu dalam memberikan nasihat agar masalah tersebut dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat. Wawlohualam Bissawab.
Referensi:
- Al-Qur’an dan Hadits
- Manampiring, H. 2019. Filosofi Teras: Fisafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini. Jakarta: PT Media Kompas Nusantara.
- https://twitter.com/lindapeall/status/1401813617851371521?lang=zh-Hant
- https://muslim.or.id/32493-saling-memberikan-nasihat-untuk-mempelajari-al-quran.html
- https://muslim.or.id/52031-adab-adab-dalam-memberikan-nasehat.html
- https://www.republika.co.id/berita/qlo5li430/memaknai-ummatan-wasathan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H