Mohon tunggu...
fika andriani
fika andriani Mohon Tunggu... -

just silent, but always do anything....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Satria Ditelan Usia

4 Juni 2011   07:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:53 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tegar menantang mentari, walau kadang ciut di terpa badai. Lari sekencang angin walau kadang jatuh dihadangmalam.

Ini Medan Bung !!! Tak kan bertahan jika tak menahan. Menahan sakit akan takdir dan getir hidup ini.

Kasihan nenek, diusianya yang tua ini belum juga merasakan kebahagiaan. Hanya sakit yang dapat menghentikan semangatnya untuk berkeliling kota memungut barang-barang bekas yang bisa dijual kembali.

sejenak aku terdiam. Membiarkan perasaan dan emosi berbaur dalam jiwaku. Entah bagaimana mengungkap semua. Aku terpaku, kecewa, marah, sedih, aku bingung untuk menggunakanperasaan ini sekaligus.

Tapi hari ini ingin ku gunakan perasaan marah itu. Tapi harus marah pada siapa? Haruskah aku marah pada Tuhan yang telah menorehkan tinta kelam digaris tanganku, sehingga kelam juga kenyataan hidup yang harus aku alami. Tapi itu tuhanku. Dia yang lebih mengetahui apa yang terbaik untukku. Yang selalu aku anggap baik, belum tentu benar-benar berarti untukku.

Pagi-pagi buta. Ku kenakan seragam itu lagi. Seragam putih abu-abu yang selalu dibanggakan nenek. Putih yang berarti suci serta ketulusan kita dalam menuntut ilmu, keuletan,rendah diri dapat mendorong kita mengejar menggapai ingin. Abu-abu. Walaupun tidak jelas,namun dengan kesungguhan, kelak kau akan dapat mengubah warna itu. Terserah kau mau warna apa. Carilah warna kesukaanmu. Begitulah kata Nenek.

Pagi-pagi buta tak luput pandanganku dari Nenek yang sedang duduk sibuk di tengah tumpukan botol-botol bekas. Tangan keriputnya dengan cepat membersihkan satu per satu botol-botol pelastik itu. Mengkemasnya kemudian menjualnya ke toke botot di kota.

Oalah Nek. Kenapa aku tak terlahir menjadi seorang wanita cantik, seksi, menarik dan asik! Andai saja begitu, pasti sudah banyak produser film yang menawari ku jadi artis. Banyak duit, terkenal lagi.

Kutepok jidatku yang masih celemotan bedak viva no 5 itu. Ya ampun nina, terlahir dengan tubuh tidak cacat saja syukur mengingat ibumu Idiot. Gumamku . tiba-tiba aku merasa beruntung kali ini. ingatan itu sesekali menghiburku.

Lelahnya setiap hari harus sembunyi- sembunyi seperti ini. tak sanggup jika harus ku katakansemua ini pada nenek. Bayangan wajah nenek yang dipenuhi garis keriput perjuangan itu semakin membuatku takut untuk melukai perasaannya, untuk menghancurkan khayalnya yang kian hari kian tinggi terbang menyapa awan dan berharap tersampaikan oleh angin.

Siang terik ini tak membuat semangatku meleleh. Berjalan penuh semangat dengan cengar- cengir menunjukan gigiku yang telah empat hari ku sikat tanpa odol. Dengan obat asma di tangan, aku semakin tak sabar untuk cepat-cepat sampai rumah.

Nenekku sudah lama sekali mengidap penyakit itu. Setiap kali ku akan membelikannya obat aku selalu berharap iniah obat terakhir yang akan dia minum. Bukan karena obat itu harus ku bayar dengan penghasilan memulungku selama dua minggu. Tapi karena aku tak sanggup lagi untuk melihat penderitaannya selama ini. Terlahirdengan kaki yang tidak sempurna, mendapatkan suami buta, dan punya anak idiot seperti ibuku, kurasa sudah cukup Tuhan memberikannya cobaan. Mengapa harus kau tambakan lagi penyakit asma akut itu padanya ya Tuhan?

Belum lagi sampai di depan rumah kardus kami, perasaanku mengatakan lain. Ada kejanggalan yang memaksaku untuk berlari melihat ada apa ramai-ramai disana. Berjarak hanya sekitar 10 meter dari rumah ada segerombolan orang yang berkumpul seperti merubungi sesuatu. Seseuatu apa itu aku tidak tahu.

Adrenalin anak jalanan ku menuntun ku berlari sekencang mungkin. Hanya tinggal 1 meter dari keramaian itu. Semua orang serentak terdiam dan melihat wajahku ibah. Beberapa orang lainnya seakan memberikan celah padaku untuk melihat apa yang terjadi. Aku tersenyum lambang terima kasih ku pada mereka.

Apa yang sebenarnya terjadi? Kupasang pandangan lekat-lekat. Tak lama kulihat sesosok manusia tergeletak tak berdaya disana. Aku tak asing dengan pakaiannya, tapi siapa dia? Aku tidak bisa melihat wajahnya karena posisinya tergeletak membelakangi ku. Ku berputar mencari tempat lebih strategis agar dapat melihatnya jelas.

Semakin dekat, semakin kenal aku akan orang tak berdaya itu. Itu sang motivatorku. Ya itu nenek. Kenapa dia?

Tubuhku seakan tersambar petir, kepalaku seperti habis dihantam kerikil. Ku langsung membalikan badannya yang sudah dipenuhi debu. Terdengar suara dari belakang. Aku tidak kenal baik orang itu.

“Nenekmu tadi terjatuh. Setelah kami lihat nyawanya sudah tak ada lagi” ucap wanita di belakangku.

“Mungkin Nenekmu kelelahan mememulung seharian. Sudah tua begitu kenapa kau biarkan dia tetap bekerja? Kan kasian!” sambung lelaki tua yang tak kalah tuanya dengan Nenekku.

Perkataann orang itu semakin membuatku tak berdaya. Kenapa Tuhan harus menghukum ku seperti ini?

Belum sempat ku buatnya bahagia, belum sempat juga ku ungkap semua ini padanya. Nek maafkan aku. Sudah setahun ku putuskan tidak sekolah lagi. orang kaya baik hati yang selama ini aku ceritakan padamu itu tidak ada Nek. Orang kaya baik hati yang selalu menitipkan obat untukmu itu hanyalah tipuanku. Itu Aku, aku yang bekerja keras hingga ku tinggalkan sekoalah agar aku bisa membelikan obat untukmu, agar kau tetap bertahan hidup.

Maafkan aku nek, aku tak bermaksud membuatmu kecewa. Aku hanya ingin melihatmu tetap bersamaku. Namun Tuhan berkehendak lain. Tuhan tlah menghukum Anak yang tega menghancurkan impian suci dari seseorang yang sangat mencintainya. Tapi aku berjanji, kelak kau akan melihat ku seperti yang kau inginkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun