Dalam era digital yang semakin terhubung, kemudahan berkomunikasi dan berekspresi telah menciptakan berbagai dinamika sosial baru. Teknologi memungkinkan setiap individu untuk terlibat dalam percakapan global, baik dalam memperjuangkan keadilan sosial, mengkritisi tindakan, maupun mengekspresikan opini secara lebih bebas. Salah satu fenomena yang muncul sebagai respons terhadap perubahan ini adalah tindakan kolektif masyarakat yang sering kali berpusat pada keadilan dan moralitas.
Dengan akses mudah ke berbagai platform digital, orang-orang kini memiliki kekuatan untuk menyuarakan ketidaksetujuan atau menuntut tanggung jawab atas tindakan tertentu. Meskipun tujuan dari respons ini bisa berlandaskan akuntabilitas, metode, dampak, serta efektivitasnya tetap menjadi bahan perdebatan yang hangat di masyarakat. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apakah tindakan kolektif ini membantu atau justru merugikan tatanan sosial kita? Inilah Cancel Culture…
Bagaimana cancel culture bisa relevan dalam kehidupan sosial saat ini? Menurut saya, Cancel culture bisa relevan karena akhir – akhir ini banyak orang – orang yang menyalahgunakan jabatan dan perannya untuk melakukan hal yang kurang senonoh dan kurang etis, jika tidak diberi sanksi, mereka akan mengulangi perbuatannya lagi. Seperti contohnya selebritas yang melakukan pelecehan seksual, tetapi tidak terkena sanksi apapun. Hal – hal seperti itulah yang ditakutkan jika pelaku tidak diberikan sanksi apapun.
Kenapa cancel culture menjadi topik yang diperdebatkan? Cancel Culture dianggap sebagai alat bagi masyarakat untuk menuntut akuntabilitas. Dengan adanya tekanan sosial yang masif, tokoh publik, selebriti, atau bahkan perusahaan dapat dipaksa bertanggung jawab atas tindakan mereka yang dinilai melanggar nilai-nilai moral. Namun, banyak yang berpendapat bahwa Cancel Culture melanggar prinsip kebebasan berpendapat. Tindakan ini sering kali tidak memberikan kesempatan bagi pihak yang dituduh untuk membela diri, dan dianggap cenderung bersifat impulsif serta bisa menjadi tindakan main hakim sendiri. Dalam artikel oleh Vox, Cancel Culture dilihat sebagai bentuk protes digital yang muncul dari meningkatnya kesadaran akan ketidakadilan sosial, namun juga menimbulkan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap demokrasi dan kebebasan berekspresi .
Kasus Harvey Weinstein adalah salah satu yang paling menonjol dalam sejarah Cancel Culture. Gerakan #MeToo, yang dipicu oleh terungkapnya tuduhan pelecehan seksual terhadap Weinstein, memaksa perubahan signifikan di industri film dan hiburan. Cancel Culture dalam kasus ini memperkuat kesadaran publik tentang pelecehan seksual, dan banyak tokoh besar dalam industri akhirnya diminta bertanggung jawab. Akuntabilitas yang terwujud dari kampanye ini berfungsi sebagai pelajaran bagi para pelaku di berbagai bidang. Ini menunjukkan bagaimana Cancel Culture bisa memberi suara pada korban yang selama ini dibungkam, dan memungkinkan adanya ruang bagi keadilan untuk mereka.
Selanjutnya, ada salah satu contoh cancel culture sebagai fenomena yang merugikan masyarakat, yaitu pemboikotan produk yang berkaitan atau menguntukan Israel. Dari pemboikotan tersebut banyak karyawan – karyawan yang terkena PHK karena tempat kerjanya mengalami penurunan keuntungan yang sangat drastis. Saya sendiri adalah orang yang setuju terhadap pemboikotan tersebut, tetapi ingin juga memberi solusi kepada pemerintah untuk membantu karyawan – karyawan yang terkena PHK. Dari cancel culture tersebut ada pihak yang dirugikan dan juga diuntungkan sehingga kasus ini masih sering diperdebatkan di masyarakat.
Seperti dalam kasus #MeToo, Cancel Culture dapat memaksa perubahan sosial yang lebih besar, memicu diskusi tentang perilaku yang tidak etis, dan menginspirasi reformasi di berbagai industri. Ini juga menunjukkan kekuatan suara kolektif dalam menuntut perubahan. Di sisi lain, Cancel Culture juga dapat menciptakan iklim ketakutan, di mana orang merasa khawatir untuk menyuarakan pendapat mereka atau mencoba sesuatu yang kontroversial. Beberapa orang merasa Cancel Culture bisa menjadi alat intimidasi, memaksa individu atau kelompok untuk mundur tanpa kesempatan berdialog.
Menurut saya, dampak dari Cancel Culture sendiri ada banyak, mulai dari yang positif hingga negatif. Contoh dampak positifnya adalah bagaimana terbentuknya kesadaran sosial di masyarakat. Dari kasus-kasus yang pernah saya liat, seperti boikot untuk palestina dan mengadili orang yang melakukan pelecehan dan kekerasan. Kasus tersebut menumbuhkan rasa empati dan kesadaran masyarakat atas apa yang terjadi di sekitarnya, sehingga rasa tersebut bisa tersebar ke orang-orang yang melihat atau menyaksikan hal tersebut.
Sedangkan dampak negatifnya adalah menyebabkan efek domino yang berlebihan. Seperti penjelasan saya sebelumnya tentang boikot produk-produk yang berafiliasi dengan Israel, yang terkena dampak boikot tersebut bukan hanya pelaku utama, tetapi juga pihak-pihak yang secara tidak langsung terlibat. Seperti karyawan dari perusahaan tersebut juga terkena dampaknya. Mereka bisa saja kehilangan pekerjaan mereka padahal tidak terlibat secara langsung dalam masalah yang terjadi.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk melihat Cancel Culture secara lebih bijaksana. Alih-alih menggunakan budaya ini untuk menghancurkan, kita harus menggunakannya sebagai sarana untuk mendidik dan mendorong perubahan positif. Masyarakat harus belajar menyeimbangkan antara menuntut akuntabilitas dan memberikan kesempatan serta dialog yang konstruktif. Pada akhirnya, Cancel Culture hanya akan benar-benar bermanfaat jika kita dapat menggunakannya untuk membangun masyarakat yang lebih adil, bukan sekadar menghukum tanpa pertimbangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H