Painem sudah menyelesaikan semua pekerjaannya pagi itu. Waktunya istirahat sebentar.
“Nyonya, boleh saya istirahat sebentar sambil minum teh?”
“Cucian sudah dijemur? Pel lantai?”
“Sudah semua, Nya.”
“Ya, sudah sana buat teh dulu sambil istirahat.”
“Nggih, Nya.”
Painem mengambil toples gula dari kolong tempat tidurnya. Toples gula miliknya sendiri, yang dibawanya dari kampung.
“Heh..heh..! Kok pake gula merah lagi? Harus saya bilang berapa kali, Nem...? Kalo buat teh itu pake gula putih, bukan gula merah!”
“Nggih, Nya. Nyuwun sewu, tapi saya sukanya pake gula merah, Nya.”
“Iya, tapi itu nggak bener! Di mana-mana orang kalo minum teh itu ya pake gula putih, bukan gula merah. Keblinger kamu!"
________________________________________________
Painem duduk termenung.
“Kebiasaanmu juga aneh sih, Nem...”
“O, aneh ya, Mas?”
“Nyonya risih mungkin lihatnya, Nem?”
“Ya... tapi gimana ya, Mas? Ini sudah jadi kebiasaan saya sejak kecil. Simbok dari dulu nggak pernah beli gula putih, Mas. Mahal katanya. Kami sekeluarga kalo minum teh ya pake gula merah, Mas, buatan simbok sendiri. Malah lebih mantep rasanya, Mas."
“Ya sudahlah, Nem. Nggak usah disesali. Berdoa saja, semoga kamu cepat dapat kerjaan lagi.”
“Iya, Mas. Tapi saya nggak keblinger tho, Mas?”
“Nggak, kamu nggak keblinger.Orang yang suka memaksakan selera, itu yang keblinger.”
[caption id="attachment_90920" align="aligncenter" width="201" caption="www.flickr.com"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H