Penuh sesak bis itu. Berjubel. Tapi masih lumayan, high-heels ku masih mendapat sedikit ruang untuk sekadar menjejak dan menopang tubuh mungilku yang terselip di antara sesaknya penumpang.
Tapi payudaraku memang malang. Harus menjadi santapan empuk bagi tangan-tangan jahil yang selalu pura-pura tak sengaja. Ah, biarlah, toh memang payudaraku tak lagi berharga. Payudara montok indah, tapi berputing kering. Tak menghasilkan setetes susupun untuk sekadar menenangkan mulut bayiku yang selalu menganga.
Nyaliku jadi ciut. Tepat di depanku bukan sosok culun tak berdaya, tapi seorang laki-laki bertubuh besar. Berpakaian rapi dan berdasi, tapi sama saja, kurang ajar memanfaatkan situasi. Setiap kali bus bergoyang, punggungnya selalu ditempelkan di payudaraku. Belakangan kedua tangannya sengaja dilipat ke belakang. Bus sedikit bergoyang, kedua tangannya tepat mengenai bagian tubuhku yang paling berharga.
Laki-laki di belakangku sama saja. Tak sempat ku perhatikan penampilan fisiknya, tapi aku bisa merasa, penis mungilnya selalu menempel dan menekan belahan pantatku.
“Aku harus bertahan. Aku harus bisa.”
Kurasakan ketakutan yang teramat sangat. Tubuhku bergetar, jantungku berdegup kencang. Keringat mengucur seperti pancuran. Tapi aku mulai bisa membaca situasi. Ya, setelahlampu merah itu, ketika bus mulai berjalan dan laki-laki di depankumulai menikmati payudaraku.
____________________
Ada beberapa lembar ratusan ribu. Di selokan depan sebuah mini market, aku buang dompet berfoto laki-laki berdasi itu.
“Anakku, mama pulang bawa susumu.”
____________________
*terinspirasi fiksi-fiksi susu sebelumnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H