Mohon tunggu...
Albertus Fiharsono
Albertus Fiharsono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

menjadi orang Papua

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sampe Dower

12 Agustus 2010   08:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:06 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Mulut kita hanya satu.Berbeda dengan bagian tubuh yang lain, telinga misalnya, jumlahnya ada dua. Bahkan jari tangan kita jumlahnya banyak, sepuluh! Dua puluh malah kalo dengan jari kaki. Tapi sayang, bagian tubuh yang jumlahnya banyak seringkali justru dibiarin nganggur, alias tidak dipakai untuk bikin sesuatu yang baik. Mulut kita yang hanya satu itu ternyata justru lebih sering kerja, ngemil sepanjang hari dan menggosip tiada henti. Pas kita lagi asyik ngemil sambil menggosip dengan teman-teman se-gank, dan mama tiba-tiba menyuruh kita untuk cuci piring, maka kita pun biasanya langsung kasih komando kepada si mulut untuk ngedumel alias menggerutu. Tuh kan…, mulut kerja lagi!!! Padahal yang mama suruh tadi tuh udah jelas banget lho, cuci piring. Mama tuh bukan menyuruh kita untuk kasih komando kepada mulut, tapi mama nyuruh kita supaya kita kasih komando kepada sepuluh jari kita untuk cuci piring. Kok mulut yang bereaksi…??!!

Kalo ada teman lagi curhat ke kita, itu artinya dua telinga kita yang harus kerja. Telinga-lah yang musti dikasih komando untuk dengerin curhatan teman kita dengan penuh perhatian dan empati. Tapi lagi-lagi kita salah kasih komando, dan akhirnya mulutlah yang menyerobot lapangan kerja telinga. Trus, kita bukannya dengerin curhatan temen kita dengan penuh perhatian dan empati sampai curhatannya selesai, tapi mulut malah langsung nyerobot cicit-cuit dengan sok tahu dan sok pinter dan sok bijaksana kasih nasihat ini itu dan macem-macem. Dasar mulut gila kerja!!!!

Waktu nelpon temen juga gitu. Mentang-mentang tarif telpon lagi murah ke semua operator, trus kita nelpon gak pake itung-itungan waktu lagi, mulut nyorocos terus sampe doweeeerr!!!!

***

Kodok, kalau sudah berkumpul di pinggir kolam atau selokan, kuat berteot-teblung tanpa henti semalam suntuk. Apalagi waktu musim hujan. Saling bersahutan tanpa henti dan ramai sekali. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang jelas, suara mereka tidak semerdu kicauan burung jalak Bali. Selain itu, tampaknya tidak ada penghuni alam yang merasa terhibur oleh teot-teblung kodok. Untuk sekadar menggubris pun kayaknya tidak ada yang mau. Tidak ada pula yang membutuhkan teot-teblung kodok. Ada teot-teblung kodok atau tidak, kondisi alam sekitar tampaknya tidak ada bedanya. Bahkan mungkin banyak yang justru merasa terganggu oleh berisiknya teot-teblung yang tidak merdu alias serak-serak fals itu.

Ayam jago berbeda dengan kodok. Ayam jago tidak banyak berbunyi, dia hanya berkokok satu kali ketika hari menjelang pagi. Namun, sekali saja dia berkokok, penghuni langit dan bumi akan terbangun dan bersiap menyambut mentari pagi. Si jago berkokok pada waktu yang sangat tepat dan mampu membawa perubahan. Kokok ayam jago menjadi pertanda bahwa sang mentari akan segera muncul di ufuk timur.

***

Kayaknya gak asyik tuh kalo kita jadi kayak kodok, berteot-teblung tiada henti tanpa arti, dicuekin orang lagi…! Mendingan kita belajar jadi ayam jago deh, jarang pake mulut, tapi sekali bersuara selalu tepat waktu dan bisa bikin perubahan untuk semuanya. Come on, it’s time to stop teot teblung tanpa arti!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun