Latar Belakang
Peningkatan ketegangan antara Rusia dan Ukraina bermula dari upaya Rusia untuk mengendalikan Ukraina melalui metode kekerasan. Fenomena ini dapat dilihat sebagai bagian dari pengendalian sosial yang dilakukan oleh Rusia terhadap Ukraina (Simanjuntak, 2023). Ketegangan tersebut mulai muncul sejak 1991, terutama di wilayah Luhansk dan Donetsk, di mana kelompok separatis mulai terbentuk akibat adanya perbedaan pandangan politik terkait pemilihan presiden Ukraina. Pada periode 1994-1999, Leonid Kuchma, yang memiliki latar belakang komunis, terpilih sebagai presiden Ukraina melalui pemilihan yang dianggap bebas dan adil. Namun, pada 2005, Viktor Yushchenko terpilih sebagai presiden yang pro-Barat, membawa janji untuk menjauhkan Ukraina dari pengaruh Rusia. Hal ini mendekatkan Ukraina dengan NATO dan Uni Eropa. Namun, pada 2010, Viktor Yanukovych kembali terpilih menjadi presiden melalui pemilu yang kontroversial. Di awal masa pemerintahannya, Ukraina dan Rusia mencapai kesepakatan mengenai harga gas, yang disertai dengan syarat Rusia dapat memperpanjang penempatan angkatan lautnya di pelabuhan Laut Hitam Ukraina. Pada tahun 2014, Yanukovych digulingkan melalui revolusi di Maidan, yang memicu ketegangan lebih lanjut. Rusia kemudian menganeksasi Crimea setelah referendum yang diadakan pada 16 Maret 2014, yang memicu pertempuran di wilayah timur Ukraina, khususnya di Donbas, Luhansk, dan Donetsk. Kelompok separatis di wilayah ini mendeklarasikan kemerdekaannya dari Ukraina dan membentuk Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk. Pada 2020, rencana Ukraina untuk bergabung dengan NATO semakin memperburuk ketegangan dengan Rusia. Selain itu, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, memutuskan hubungan diplomatik dengan Rusia sebagai reaksi atas aneksasi Crimea oleh Rusia pada 2014.
Konflik ini semakin meningkat menjadi pola kekerasan yang menciptakan ketegangan lebih lanjut, dengan masing-masing pihak berusaha untuk memperlemah pihak lawan. Ketegangan memuncak pada 24 Februari 2022, ketika Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan operasi militer di Ukraina. Meskipun begitu, ada kemungkinan bahwa konflik ini dapat mencapai fase de-eskalasi, mengingat kedua pihak masih belum siap untuk menggunakan kekuatan fisik secara langsung, serta potensi risiko perang nuklir yang dapat terjadi. Konflik ini sejatinya telah berlangsung sejak 2014, ketika rakyat Ukraina yang menginginkan kemerdekaan dan kedaulatan negara menggulingkan Presiden Yanukovych yang pro-Rusia (Simanjuntak, 2023). Protes besar pro-Uni Eropa terjadi sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan Yanukovych yang lebih memilih berhubungan dagang dengan Rusia. Pelengseran Yanukovych memicu perpecahan di Ukraina, di mana sebagian masyarakat mendukung Uni Eropa, sementara sebagian lainnya, terutama di Crimea, lebih pro-Rusia. Keputusan Rusia untuk campur tangan dalam masalah internal Ukraina ternyata juga memiliki kepentingan untuk menguasai wilayah Crimea yang strategis, yang memperkuat pengaruh Rusia di kawasan Eropa Timur dan Tengah. Pada 16 Maret 2014, Parlemen Crimea mengadakan referendum untuk memutuskan pemisahan dari Ukraina dan bergabung dengan Rusia (Pramono, 2014). Meskipun krisis di Crimea mereda, hubungan Rusia-Ukraina terus mengalami pasang surut.
Setelah peristiwa aneksasi Crimea, Rusia juga memberikan dukungan kepada kelompok separatis di Donetsk dan Luhansk yang berusaha untuk melepaskan diri dari Ukraina. Pada Februari 2022, NATO mulai melakukan upaya untuk memperluas keanggotaannya di Eropa Timur, dengan Ukraina sebagai salah satu target utama. Hal ini dianggap oleh Rusia sebagai ancaman yang serius dan pelanggaran terhadap kepentingannya. Sebagai respons, Presiden Putin memerintahkan serangan militer terhadap Ukraina. Namun, serangan militer Rusia terhadap Ukraina tidak dapat dibenarkan karena melanggar Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB, yang menyatakan bahwa semua negara anggota PBB wajib menghormati integritas wilayah dan kemerdekaan politik negara lain. Oleh karena itu, konflik yang berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina memerlukan solusi segera agar perdamaian dapat tercapai.
Dimensi Geopolitik
Konflik antara Rusia dan Ukraina bukan hanya sekedar konflik di wilayah lokal, namun juga merupakan pertempuran geopolitik yang memiliki pengaruh luas di tingkat internasional. Salah satu aspek utama dari konflik ini adalah upaya perebutan pengaruh di kawasan Eropa Timur. Bagi Rusia, Ukraina merupakan bagian penting dari zona pengaruhnya sejak zaman Uni Soviet, sehingga kedekatan Ukraina dengan negara- negara Barat dipandang sebagai ancaman besar. Hasrat Ukraina untuk bergabung dengan NATO dan Uni Eropa dianggap Rusia sebagai ancaman bagi stabilitas dan keamanan kawasan, serta berpotensi mengurangi dominasi Rusia di wilayah ini.
Selain itu, wilayah-wilayah strategis seperti Crimea dan Laut Hitam sangat berperan dalam rencana geopolitik Rusia. Crimea, yang dianeksasi oleh Rusia pada tahun 2014, memberikan keuntungan signifikan bagi Rusia karena pelabuhan di Laut Hitam membuka akses ke Laut Mediterania. Dengan menguasai Crimea, Rusia memperoleh keuntungan militer dan ekonomi, serta kontrol atas jalur perdagangan utama di kawasan tersebut. Sementara itu, Amerika Serikat bersama sekutu-sekutunya di NATO terus memberikan dukungan politik dan militer bagi Ukraina, yang semakin meningkatkan ketegangan dengan Rusia. Bagi AS, konflik ini merupakan peluang untuk membatasi pengaruh Rusia sekaligus memperkuat kehadiran NATO di Eropa Timur, khususnya mengingat bahwa aksi Rusia dianggap mengancam keamanan anggota NATO di kawasan tersebut. Upaya NATO untuk memperluas pengaruhnya di Eropa Timur melalui pendekatan kepada Ukraina dianggap Rusia sebagai ancaman langsung, sehingga memicu serangan militer Rusia terhadap Ukraina pada tahun 2022 (Bremmer, 2022). Konflik ini menciptakan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang luas, berdampak pada hubungan diplomatik, keamanan energi di Eropa, dan bahkan pasokan pangan global mengingat Rusia dan Ukraina adalah eksportir utama gandum dunia. Dalam situasi ini, negara-negara Barat terus menerapkan sanksi ekonomi terhadap Rusia, dengan tujuan melemahkan perekonomiannya serta mengurangi kapasitas militer dan pengaruh global yang dimiliki Rusia.
Dampak Konflik
Perang Rusia-Ukraina memberikan dampak yang meluas di berbagai bidang, mencakup aspek politik, ekonomi, keamanan, dan sosial, tidak hanya di Eropa tetapi juga secara global. Berikut adalah beberapa dampak utama yang dihasilkan dari perang ini:
1. Ketidakstabilan Politik dan Keamanan Global
Konflik Rusia-Ukraina telah meningkatkan ketegangan geopolitik antara Rusia dan Barat, khususnya NATO. Negara-negara di Eropa Timur kini merasa lebih rentan, dan NATO melakukan peningkatan kehadiran militer di sepanjang perbatasan timur untuk mencegah eskalasi lebih lanjut. Secara umum, konflik ini juga menguji kekompakan dan respons kolektif dari negara-negara Barat dalam menghadapi ancaman keamanan.
2. Perekonomian Global
Negara-negara yang mengandalkan impor komoditas dari Rusia dan Ukraina merasakan dampak signifikan dari ketidakstabilan ini. Fluktuasi besar terlihat pada indeks saham di Eropa dan Amerika Serikat, serta meningkatnya biaya pinjaman pemerintah, yang menunjukkan ekspektasi inflasi yang lebih tinggi. Di Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan, sementara sektor energi diuntungkan oleh lonjakan harga komoditas energi global, yang berpotensi memperkuat kinerja ekspor dan sektor energi dalam negeri. Lebih jauh lagi, konflik ini dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi global dalam jangka panjang dan menimbulkan risiko bagi stabilitas pasar keuangan, terutama di negara-negara berkembang dan berpenghasilan rendah. Efeknya meluas ke arus modal, nilai tukar mata uang, dan nilai saham perusahaan-perusahaan besar, yang kesemuanya menunjukkan tekanan di pasar. Secara keseluruhan, invasi ini telah menciptakan ketidakpastian yang meluas di pasar komoditas, pasar modal, dan ekonomi dunia, menjadi pengingat pentingnya stabilitas geopolitik dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Monica et al., 2010)
3. Dampak Kemanusiaan dan Pengungsian
Konflik ini juga menyebabkan krisis pengungsian yang besar, dengan jutaan warga Ukraina terpaksa mencari perlindungan di negara-negara tetangga seperti Polandia, Jerman, dan Rumania. Lonjakan jumlah pengungsi ini membawa beban ekonomi dan sosial yang besar bagi negara-negara yang menampung mereka, sekaligus menciptakan tantangan dalam penyediaan bantuan kemanusiaan serta proses integrasi pengungsi ke dalam masyarakat setempat (UNHCR, 2022).
4. Krisis Pangan Global
Rusia dan Ukraina merupakan pemasok utama untuk komoditas seperti gandum, jagung, dan minyak bunga matahari. Konflik antara kedua negara ini telah mengganggu pasokan pangan global secara signifikan, terutama berdampak pada negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada impor dari wilayah tersebut. Akibatnya, harga pangan mengalami kenaikan tajam, yang memicu krisis pangan di berbagai belahan dunia(Foods-11-02979-v2.Pdf.Crdownload, n.d.).
Kesimpulan
Konflik antara Rusia dan Ukraina bukan sekadar perang fisik antarnegara, melainkan sebuah peristiwa yang mengubah dinamika geopolitik global. Akar permasalahan konflik ini muncul dari ketegangan sejarah dan persaingan politik antara kedua negara, yang semakin diperuncing oleh keinginan Ukraina untuk mendekatkan diri dengan NATO dan Uni Eropa. Hal ini mencapai puncaknya dengan invasi militer Rusia pada 2022, yang berdampak luas pada berbagai sektor di Ukraina dan di seluruh dunia. Dalam hal geopolitik, Rusia menganggap Ukraina sebagai bagian dari wilayah pengaruh yang penting demi menjaga keamanan, terutama karena lokasi strategisnya terkait kontrol atas Laut Hitam dan Crimea. Sebaliknya, NATO dan negara-negara Barat melihat konflik ini sebagai peluang untuk membatasi pengaruh Rusia di Eropa Timur serta memperkuat posisi NATO di wilayah tersebut. Akibatnya, konflik ini memicu ketidakstabilan politik yang besar, meningkatkan kekhawatiran keamanan di Eropa Timur, dan menciptakan ketegangan baru yang mengingatkan pada situasi Perang Dingin.
Perang ini memberikan dampak luas, termasuk krisis pengungsi, ketidakstabilan ekonomi, dan gangguan terhadap pasokan pangan global. Lonjakan harga komoditas akibat terganggunya suplai dari Rusia dan Ukraina menghantam ekonomi negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada impor tersebut. Selain itu, dampak pada sektor energi dan pangan menimbulkan krisis berkepanjangan, terutama di wilayah yang bergantung pada gandum, jagung, dan minyak bunga matahari dari kedua negara. Secara keseluruhan, konflik Rusia-Ukraina menekankan pentingnya stabilitas geopolitik untuk menjaga keseimbangan ekonomi dan kemanusiaan dunia. Konflik ini menggarisbawahi kebutuhan akan pendekatan diplomatik untuk mencegah eskalasi lebih lanjut yang dapat memperburuk keadaan. Hanya melalui dialog dan kerja sama internasional, perdamaian yang berkelanjutan dapat diwujudkan, dan krisis yang dialami dunia akibat konflik ini dapat pulih secara bertahap.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI