Sebagai seorang WNI yang sudah bertahun-tahun mengais rezeki di negeri tetangga, rasanya sudah menjadi hal biasa ketika membeli dan menggunakan barang atau membeli dan mengkonsumsi makanan produk Indonesia di Malaysia.
Di Malaysia, produk Indonesia berupa barang keperluan sehari-hari seperti rokok, mie instan, obat sakit kepala, obat flu, dan berbagai jenis merk makanan/minuman bahkan sabun cuci begitu mudah didapat, terutama di kedai runcit (toko kelontong) milik orang  Aceh yang hampir di setiap kawasan ada.
Namun, selama sepuluh tahun lebih bekerja di Malaysia hanya beberapa kali saya melihat dan mengerjakan sebuah pekerjaan yang bahan bakunya produk Indonesia.
Sebagai seorang pekerja migran asal Indonesia di Malaysia, tentu menjadi kebanggaan tersendiri ketika mengerjakan sebuah pekerjaan yang bahan bakunya bertuliskan MADE IN INDONESIA. Kali ini, untuk yang kesekian kalinya saya kembali akan mengerjakan pembuatan tangki dengan bahan baku plat besi produk Indonesia.
Saat ini, saya bekerja di sebuah bengkel kontruksi di kawasan Selangor. Meski sempat berpindah-pindah tempat, sejak tahun 2006 menjadi TKI di Malaysia dan hanya pulang setiap lebaran (atau setidaknya setiap satu tahun sekali) saya tidak pernah berganti bidang pekerjaan.
Selama 13 tahun, saya konsisten menekuni satu bidang pekerjaan, yaitu kontruksi besi yang biasa mengerjakan pembuatan tangki, kontruksi pabrik dan berbagai barang yang berbahan baku besi atau plat besi. Mengelas (welding), menggerinda (drinding), mengebor (drilling), memotong besi (cuting), dan  membaca gambar teknik (drawing) tentu sudah menjadi aktivitas sehari-hari.
Begitu banyak gedung-gedung megah di negeri tetangga karya  putra-putra Indonesia. Begitu banyak tangki-tangki minyak di pelabuah-pelabuhan Malaysia yang notabene merupakan 'karya' anak-anak Indonesia karena tidak hanya dikerjakan tapi juga 'diotaki' putra Indonesia.
Mereka tidak sekadar bekerja tapi juga mampu berkarya. Bukan berbekal selembar ijazah, tapi ketekunan bekerja dan kerasnya hidup di perantauan telah menempa mereka hingga bisa memperoleh pengalaman dan ilmu yang tidak sempat mereka dapat dari bangku sekolahan ketika masih berada di kampung halaman.
Di negeri tetangga, tidak sedikit putra-putra Indonesia yang hanya lulusan SD, SMP atau paling tinggi SMA mampu mengerjakan sebuah pekerjaan sekelas pekerjaan insinyur. Â Namun sayangnya, di negeri sendiri nasib mereka kurang mujur, sebab di negeri tercinta Indonesia - tanah air beta, ijazah tentu menjadi syarat mutlak bagi pencari kerja.