Berdasarkan laporan Bank Dunia, bertema Migration and Remmitances Factbook 2016 yang terbit pekan lalu, Indonesia merupakan negara penerima remitansi terbesar ke-4 di dunia. Aliran uang tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Tanah Air diperkirakan mencapai US$ 10,5 miliar pada 2015, meningkat dibandingkan US$ 8,3 miliar (Rp 97 triliun) pada 2014.
Remitansi yang cukup besar itu tentunya juga sangat berperan dalam pembangunan nasional karena dapat menopang kebutuhan hidup jutaan rumah tangga, tetapi sayangnya,remitansi besar tersebut tidak diimbangi dengan perlindungan yang maksimal terhadap buruh migran/TKI dan keluarganya.
Selama ini,negara/pemerintah justru menyerahkan urusan penempatan dan perlindungan TKI kepada swasta,bahkan pendelegasian kewenangan kepada swasta tersebut disahkan dengan Undang Undang No.39 Tahun 2004 tentang PPTKILN.
Banyaknya kasus yang menimpa buruh migran seringkali berhenti dalam tahap ‘mediasi’ ,karena ketika seorang buruh migran/TKI mengalami masalah maka yang ‘diuber’ adalah pihak swasta/PJTKI,sementara pemerintah/BNP2TKI hanya sebagai mediator yang berperan tak ubahnya seorang penonton. Jika PJTKI/PPTKIS itu ‘baik ‘ masalah akan terselesaikan tp jika PJTKI/PPTKIS itu ‘nakal’ buruh migran tetap saja menjadi korban.
Ketidakjelasan penyelesaian perselisihan justru bersumber pada regulasinya. Langkah Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN) mengajukan judicial review ke MK pasal 85 ayat (2) UU PPTKILN adalah upaya mencari kejelasan dan ketegasan dalam hal penyelesaian perselisihan dengan harapan buruh migran dapat memperoleh perlindungan ,tetapi sayangnya ,upaya tersebut justru dilakukan oleh Serikat Pekerja, pemerintah lebih fokus kepada peningkatan remitansi dengan mengabaikan perlindungan yang seharusnya menjadi tugas dan tanggungjawabnya.
Permasalahan TKI, termasuk juga masalah TKI ilegal dan TKI yang gajinya tak terbayar harus segera dicarikan jalan keluar dengan lebih mengedepankan peran negara/pemerintah ketimbang swasta.
Jurus ‘maut’ BNP2TKI dengan cara mewajibkan TKI membuka rekening dan melarang majikan membayar gaji secara cash yang ternyata banyak mendapat protes dan caci maki dari TKI hanyalah jurus ‘gombal’ untuk meningkatkan remitansi,sementara BNP2TKI sebenarnya adalah Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, bukan Badan Peningkatan Remitansi TKI.
Kedepannya, pemerintah harus dengan sadar dan berbesar hati mau duduk bersama dengan DPR,menyusun ulang RUU PPILN sebagai RUU pengganti atas UU No 39 Tahun 2004 tentang PPTKILN dengan harapan remitansi besar dari TKI akan diimbangi pula dengan perlindungan secara komprehensif dan maksimal oleh negara/pemerintah dengan mengacu kepada konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan Buruh Migran.
Stop komersialisai/swastanisasi TKI…!
Remitansi besar TKI harus diimbangi dengan perlindungan maksimal oleh negara/pemerintah.
Â