BUMN sudah lama menjadi ‘sapi perah’ pejabat dan partai politik. Perusahaan pelat merah itu dijadikan tambang uang ilegal. Kecenderungan tersebut tidak hanya membuat BUMN sulit berkembang secara bisnis, tapi juga turut melestarikan praktik korupsi. Praktik korupsi sudah berurat berakar dan menggurita dalam tubuh BUMN, 70% perusahaan pelat merah mendapatkan proyek lewat permainan uang atau sogok-menyogok. Hanya 30% perusahaan milik negara yang mendapat proyek tanpa sogok.
Dengan demikian, sekitar 98 dari 140 BUMN terlibat dalam korupsi yang bersifat sistematis dan terstruktur. BUMN yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi paling rawan terlibat permainan busuk itu. Sudah bukan rahasia lagi, perusahaan pelat merah konstruksi harus berkompetisi dengan swasta untuk mendapatkan proyek. Kebanyakan BUMN konstruksi jelas kalah kelas bila berkompetisi mengandalkan profesionalitas. Karena itu, tidak ada cara lain, mereka memainkan jurus suap-menyuap.
Kasus Hambalang merupakan contoh paling aktual dan faktual soal dugaan korupsi yang melibatkan penguasa, pengusaha, dan pimpinan partai yang berkuasa. Penguasa pemilik proyek bermain mata dengan politisi yang mempunyai otoritas anggaran di DPR, dan pengusaha rela merogoh kocek dalam-dalam untuk memuluskan proyek. Kasus Hambalang sedang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi.
Nilai total proyek Hambalang mencapai Rp2,5 triliun. Perinciannya, Rp1,1 triliun untuk konstruksi dan Rp1,4 triliun untuk biaya pengadaan barang. Ini termasuk proyek ajaib, sebab nilai pengadaan barang lebih besar ketimbang pembangunan gedung.
Lebih ajaib lagi, pembiayaan proyek menggunakan program tahun jamak (multiyears) tanpa sepengetahuan Komisi X DPR yang menjadi mitra kerja Kementerian Pemuda dan Olahraga, sang pemilik proyek. Kok bisa DPR tidak tahu? Bukankah DPR memiliki hak anggaran?
Modus korupsi yang sering dilakukan BUMN ialah menyub-kontrakkan pekerjaan kepada perusahaan yang tak layak, terutama perusahaan milik politikus atau mereka yang dekat dengan anggota DPR dan penguasa. Dalam kasus Hambalang, misalnya, terdapat 17 perusahaan yang menjadi subkontraktor. Salah satunya PT Dutasari Citralaras yang mendapat pekerjaan subkontrak dari Adhi Karya senilai Rp300 miliar.
Dutasari Citralaras milik Mahfud Suroso yang dikenal sebagai kerabat Anas Urbaningrum, ketua umum partai berkuasa, Partai Demokrat. Istri Anas, Athiyyah Laila, pernah menjadi komisaris perusahaan tersebut.
Sudah saatnya pemerintah berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan BUMN dari posisi sebagai ‘SAPI PERAH’ dan menjadi pusat korupsi. Upaya itu harus datang dari Presiden untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sebagai presiden WAJIB melarang seluruh politikus partai berkuasa bermain dalam proyek pemerintahan. Tanpa ketegasan itu, sulit membersihkan BUMN dari korupsi.
Seruan bagi presiden, pejabat negara, politikus, KPK, POLISI, LSM, masyarakat dan segenap pencinta kompasiana, mari kita sama-sama hancurkan Koruptor di bumi pertiwi ini, jadikan bangsa ini bangsa yang bermoral dan bermartabat baik sekala nasioanal maupun internasional. Amin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H