Mohon tunggu...
Ahmad Fikri Sabiq
Ahmad Fikri Sabiq Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger yang menulis dalam kesendirian

Guru blogger yang menulis dalam kesendirian

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sikap Berani Indonesia dan Antisipasi Dampak Sengketa Laut China Selatan

30 Mei 2024   22:39 Diperbarui: 30 Mei 2024   23:02 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu upaya mensyukuri nikmat dari entitas kehidupan bernegara adalah dengan mempertahankan kedaulatan NKRI. Wujud syukur tersebut kemudian dilengkapi dengan eksistensi Indonesia di kancah internasional. Termasuknya adalah peran Indonesia dalam penyelesaian konflik sengketa di wilayah Laut China Selatan (LCS) yang belum berujunng.

Secara Geografis, Indonesia berada di kawasan Pasifik dimana sampai saat ini masih terjadi sengketa atas kepemilikan wilayah LCS. Meskipun tidak ikut terlibat dalam sengketa, namun secara tidak langsung berdampak terhadap kedaulatan Indonesia.

LCS merupakan wilayah laut dengan luas sekitar 3,5 juta kilometer persegi. Ini merupakan 39% dari total luas wilayah laut di Asia Tenggara atau 2,5% dari luas lautan di dunia. Wilayah laut LCS membentang dari selat Malaka sampai ke selat Taiwan dan dikelilingi oleh negara-negara ASEAN. Meskipun terdapat beberapa kepulauan seperti Spratly dan Paracel, namun wilayah LCS ini merupakan no man's island.

Sengketa di LCS tidak menyoal kedaulatan wilayah semata. Lebih dari itu, ada berbagai kepentingan yang berdampak pada banyak keuntungan jika mampu memiliki wilayah tersebut. Pertama, wilayah laut dan gugusan kepulauan di LCS mengandung sumber kekayaan alam yang sangat besar, meliputi kandungan minyak (sekitar 213 miliar barel), gas bumi (sekitar 190 triliun kaki kubik), dan kekayaan laut lainnya (Ruyat, 2017 dan Laksmi, 2022).

Kedua, wilayah LCS merupakan wilayah yang menjadi jalur perlintasan pelayaran internasional yang menghubungkan jalur perdagangan Eropa, Amerika, dan Asia. Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di Asia, membuat negara-negara sekitar, negara-negara Eropa, dan Amerika Serikat berkeinginan menguasai kontrol dan pengaruh atas wilayah LCS ini (Laksmi, dkk: 2022). Kepentingan ekonomi menjadi faktor utama dari sengketa LCS ini.

Beberapa konflik terbuka pernah terjadi di kawasan ini, seperti konflik militer antara Vietnam dan China di kepulauan Paracel (1947) dan di kepulauan Spratly (1988). Berikutnya konflik antara China dan Filipina (1955) dimana China melakukan pendudukan terhadap pulau Mischief Reef yang telah diklaim sebagai bagian dari wilayah Filipina (Laksmi, dkk: 2022). Selain itu juga ada konflik lainnya yang pernah terjadi dalam sengketa LCS ini.

Berkenaan dengan sengketa ini, ada tiga ancaman serius bagi Indonesia. Pertama, kedaulatan. Indonesia sebagai honest broker melakukan dan memimpin diplomasi penyelesaian sengketa. Namun, pada tahun 2009-2010, kedaulatan Indonesia mulai "digoyang" saat China mengklaim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di wilayah utara kepulauan Natuna (Sulistyani, dkk, 2021).  Hal tersebut terjadi ketika China menerbitkan peta klaimnya, nine dash line, pada pertengahan tahun 2009, sebagai kelanjutan dari eleven dash line 1947. Menyikapi klaim sepihak tersebut, pemerintah Indonesia memanfaatkan sumber daya alam yang ada di Natuna dengan eksplorasi pertambangan minyak mulai 2013. Aktivitas ini mampu menguatkan posisi Indonesia dalam mengklaim wilayah tersebut. (Laksmi, dkk: 2022).

Kedua, keamanan. Jika terjadi konflik terbuka antar negara terlibat sengketa di LCS, maka stabilitas keamanan nasional Indonesia ikut terancam. Hal ini bukan tidak mungkin terjadi mengingat sengketa ini semakin tidak ada ujungnya. Maka diperlukan rumusan konsep strategis pengembangan Natuna sebagai home base kekuatan TNI (Prabowo, 2013). 

Ketiga, ekonomi. Memanasnya hubungan AS-China perihal LCS akan berisiko pada perekonomian kedua negara itu yang akan menyeret negara lain yang menjadi mitra dagang kedua negara tersebut. Maka kebijakan luar negeri Indonesia perihal ekonomi juga harus mengantisipasi kemungkinan tersebut dengan cara membuka mitra dagang lebih luas.

Indonesia telah mengupayakan berbagai diplomasi untuk penyelesaian sengketa LCS ini. Sebagai negara regional power di ASEAN, kiprah Indonesia diharapkan dalam penyelesaian sengketa di wilayah LCS. Selain diplomasi, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh Indonesia. Pertama, membangun rasa saling percaya antar negara yang terlibat sengketa selama masalah ini belum terselesaikan. Hal ini penting untuk menghindari konflik militer terbuka. Kedua, bersikap berani dan tegas dengan mendukung peraturan internasional perihal Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Ketiga, menjadi negara netral di antara negara yang terlibat sengketa sehingga mampu membangun dan menjaga rasa percaya dari dari negara-negara tersebut. Hal ini akan sangat bermanfaat ke depan sebagai upaya menginisasi solusi dalam sengketa wilayah LCS. Semoga Indonesia mampu untuk selalu hadir dalam penanganan berbagai konflik di kancah internasional, dan khususnya untuk konflik sengketa di Laut China Selatan ini segera menemukan solusi.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun