Mohon tunggu...
Fifit UmulNayla
Fifit UmulNayla Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis Belajaran

Membaca adalah melawan, menulis berarti mengabadikan. Enjoy the journey..!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Polemik THR dan Gaji ke-13, Eddy Soeparno: Kebijakan Ini Terkesan Dipaksakan!

14 Juni 2018   04:42 Diperbarui: 14 Juni 2018   05:15 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : IG Eddy Soeparno

Pada awal bulan Juni ini, Tunjangan Hari Raya (THR) untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) dijadwalkan sudah cair. Di beberapa instansi, pada Senin, 04 Juni 2018, memang sudah cair. Hal ini dikatakan sesuai dengan peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2018 tentang pemberian THR tahun 2018 kepada PNS, TNI/Polri, pensiunan dan penerima tunjangan yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo. Akan tetapi, dalam peraturan tersebut, pegawai honorer tidak termasuk sebagai penerima THR karena bukan PNS. Hal ini kemudian mengundang berbagai polemik.

Kendati demikain, menurut Menteri Keungan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa sebagian pegawai honorer tetap akan mendapatkan THR seperti halnya para PNS. Khusus untuk guru honorer, Sri Mulyani menyebutkan bahwa pemberian THR tergantung pada kebijakan masing-masing Pemerintah Provinsi (Pemprov). Ada Peprov yang memang memberikan THR, ada juga yang tidak. Nah hal ini juga kemudian kembali mengundang polemik baru lagi.

Masyarakat, khususnya para pegawai Honorer mempertanyakan kesegeraman aturan yang dibuat oleh Presiden maupun Menteri Keuangan. Kalau memang dikatakan pegawai Honorer juga akan mendapatkan THR, kenapa harus disekat-sekat sesuai pemprov masing-masing? Kalau ternyata Pemprovnya memang sengaja menelan uang THR itu untuk keluarganya sendiri bagaimana? Disamping itu, kalau memang dibebankan kepada Pemprov, lalu anggarannya dari mana? APBD?

Iya, jawabannya memang anggaran untuk THR dibebankan kepada pemprov dengan menggunakan dana APBD. Namun tahukah pemerintah bahwa Keputusannya yang membebankan uang THR dan gaji 13 kepada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) bakal memunculkan masalah baru. Setidaknya, surat Mendagri nomor 903/3386/SJ tanggal 30 mei 2018 itu bakal menjerumuskan kepala daerah sebagai pasien Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebelumnya, perlu diketehaui Surat edaran Kementerian Dalam Negeri tersebut merinci beberapa komponen THR. Untuk kepala daerah dan pimpinan serta anggota DPRD terdiri dari gaji pokok atau uang representasi, tunjangan keluarga, dan tunjangan jabatan. Sementara untuk ASN komponennya terdiri dari gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan atau tunjangan umum, serta tambahan penghasilan.

Sekertaris Jenderal DPP Partai Amanat Nasional, Eddy Soeparno turut menanggapai kasus ini. Mneurutna, berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah pun kini dibuat bingung dari mana sebenarnya dana untuk membayar THR dan Gaji ke 13 tersebuut. Eddy mengatakan, pemerintah nampaknya harus menjelaskan secara terbuka kepada public soal THR dan gaji ke 13 yang anggarannya membengkak. Jangan sampai, hal tersebut malah menimbulkan kekisruhan terutama bagi pemerintah daerah yang kesulitan membayar.

Eddy juga khawatir, bahwa dengan adanya beban tersebut, Pemerintah Daerah akhirnya terpaksa dan kemungkinkan menggunkan dana di luar anggaran yang sudah direncankan. Kalau sudah begitu, lalu bagaimana statusnya? Yang ada mereka bisa terkena tanggung jawab secara administrasi dan hokum, akibat kebijakan tersebut.

Pada kultweetnya, Eddy berharap Pemerintah Daerah yang mengalami kesulitan untuk membayar juga seharusnya menyampaikan hal secara terbuka dan meminta saran kepada pemerintah pusat bagaimana cara yang baik untuk menyelesaikannya, agar jangan sampai menimbulkan permasalahan di kemudian hari.

Eddy berharap, hal semacam ini tidak terjadi lagi di kemudian hari. Pemerintah tentu juga harus memperhitungkan dengan cermat implikasi keuangan, administrasi dan hokum sebelum mengeluarkan kebijakan. Kebijakan ini memang kebijakan yang populis, namun juga terkesan dipaksakan. Jangan sampai karena polemik yang terus bergulir, kebijakan ini justru dianggap sebagai kebijakan politik yg penuh nuansa pencitraan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun