Beberapa hari ini, masyarakat Indonesia terus dihantui aksi teror bom. Awal ketakutan itu dimulai sejak adanya teror ledakan bom di 3 gereja, 1 rusunawa, dan 1 mapolrestabes di Surabaya dan Sidorajo  dalam waktu yang kurang dari 1x24 jam.
Di hari pertama, yakni pada Minggu (13/5/18) aksi bom bunuh diri yang terjadi di tiga gereja dilakukan oleh satu keluarga. Tidak lama setelah peristiwa itu, bom bunuh diri kenbali meledak di Rusunawa Wonocolo Sidorajo dan keesokan harinya di Mapolrestabes Surabaya. Â Tak hanya kerusakan bangunan, aksi bom bunuh diri tersebut bahkan membuat lebih dari 30 orang meninggal dunia dan kurang lebih 74 orang mengalami luka-luka.
Sebelumnya, masyarakat Indonesia juga dihebohkan dengan kerusuhan di Mako Brimob yang melibatkan para napi kasus terorisme yang membuat lima anggota polisi dan seorang napi meninggal.
Kejadian teror bom yang bertubi-tubi tersebut turut membuat masyarakat dari berbagai kalangan mengutuk perbuatan biadab para teroris. Melalui media sosial Facebook, Twitter dan Instagram, publik memberikan tanggapan mereka mengenai teror bom ini. Beberapa selebriti, politisi, para kyai dan ulama, juga menyampaikan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya kepada para korban teror bom bunuh diri.
Entah apa motif dari para pelaku bom bunuh diri tersebut, namun lagi-lagi, karena ulah bodohnya itu, masyarakat kembali menuding bahwa hal tersebut ada kaitannya dengan islam. Dengan adanya tudingan tersebut, otomatis muslim lainnya tidak terima karena agamanya dianggap sebagai agama perusak, pengacau dan suka kekerasan. Padahal, pada petikan ayat dari surat Al-Ma'idah ayat 32 sudah jelas, bahwsanya "Barangsiapa yang membunuh seseorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya".
Teroris tidak memiliki agama. Hal ini sungguh jelas dan nyata. Maka dengan demikian, pandangan masyarakat terhadap Islam harus dibenahi, terkhusus mereka yang suka menuding bahwa Islam adalah agama yang mungkar, yang menyerukan pengikutnya untuk berbuat dzolim kepada sesama. Kita boleh bahkan mungkin harus mengutuk para pelaku teroris, tetapi bukan mencela agama yang dijadikan sebagai tameng nyali para teroris. Karena satu hal yang harus kita sepakati bersama, bahwa tidak ada satupun agama yang menyuruh penganutnya untuk membeunuh sesamanya.
Aksi terror bom di Surabaya cukup membuat masyarakat geger, bahkan pemerintah dan parlemen pun turut berdebat untuk membela diri dan saling menyalahkan. Sebut saja misalanya saat Presiden Jokowi mengancam akan membuat Perppu tentang terorisme, jika DPR sampai Juni 2018 tidak mengesahkan UU terorisme. Hal ini mungkin langkah yang tepat dan bijak. Asal, perlu diingat bahwa itu bukanlah trik pencitraan saja. Atau cara untuk memberi kesan bahwa kinerja DPR sangat lambat sehingga Presiden mengambil alih.
Lain Presiden, lain juga pembelaan dari anggota DPRnya. Sebagaimana yang disampaikan wakil ketua DPR, Fadli Zon. Ia menepis anggapan alotnya pembahasan RUU Terorisme jadi factor suburnya aksi terorisme di Indoneisa. Bahkan, ia juga menyampaikan bahwa UU Terorisme sejatinya sudah ada, yakni UU Nomor 15 tahun 2003.
Fadli menjelaskan  saat ini pembahasan yang terjadi di DPR ialah sebatas revisi terhadap UU No 15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme. Undang-undang ini tetap berlaku meski DPR bersama pemerintah tengah membahas revisi. Sementara, untuk menyelesaikan pembahasan revisi terkait tindak pidana tersebut, antara DPR dan Pemerintah harus memiliki pemahaman yang sama soal definisi.
Ah entahlah. Biarkan mereka berdebat. Toh, aksi ini sejatinya membutuhkan solusi. Â Bukan hanya perdebatan semata. Terorisme merupakan kejahatan extraordinary yang harus kita lawan bersama, bukan hanya masalah undang-undang saja. Dan juga, nanti ketika undang-undangnya sudah disahkan tidak menjamin juga teroris hilang di muka bumi Indonesia.
Disetujui atau tidak, aksi terror di Surabaya dan Sidorajo sungguh memprihatinkan. Keprihatainan tersebut ialah saat kita mengetahui bawah aksi terror bom bunuh diri ini melibatkan anak-anak yang tentu akan memberikan dampak negatif. Misalnya, dampak secara psikologis. Anak-anak yang menyaksikan berita terkait terror bom tersebut akan berfikir bahwa aksi bom bunuh diri boleh dilakukan di sembarang tempat dan boleh melukai atau membunuh orang lain. Selain itu, anak juga bisa melibatkan diri dalam menebarkan kebencian terhadap sesama, terhadap pemerintah, negara, atau system yang dirasa menganggu kenyamanan dirinya.
Menukil istilah Lorne L. Dawson, bahwa sistem penyebaran faham teror seringkali bersifat interpersonalisme. Sistem ini menyebar secara personal ke personal lain secara masif, sehingga pola geraknya sulit dilacak. Nah, apa bisa kita bayangkan jika penyebaran personal ke personal ini yang melakukan adalah anak-anak.  Oleh sebab itu, deteksi secara dini harus dilakukan oleh berbagai pihak, baik dari sekolah, keluarga, guru ngaji, maupun  masyarakat secara umum.
Terkait maraknya perlibatan anak dalam kejahatan terorisme, Sekretaris Jenderal DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno meminta agar pemerintah melakukan langkah-langkah antisipatif dan pencegahan secara masif melalui berbagai model pendekatan. Hal ini juga sebagai upaya agar ruang gerak jaringan terorisme dapat dicegah sedini mungkin.
Sementara itu, di pihak lain juga kasus terorisme yang melibatkan anak perlu didalami secara komprehensif, termasuk memastikan inisiator dan actor utama dibalik kejadian pelibatan anak dalam aksi terror di Surabaya. Inisiator dan actor utama harus mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya, agar kejadian yang sama tidak kembali terulang.
Selain itu, Eddy juga berpesan agar Pemeirntah Kota Surabaya dan Sidoarjo aktif dan perlu terus memastikan anak korban dan terduga yang selamat dalam aksi terorisme untuk memberikan perhatian khusus terhadap tumbuh kembangnya, termasuk juga pemenuhan hak Pendidikan, kesehatan, dan hak dasar lainnya. Pemerintah harus melakukan inovasi Pendidikan mengenai trend indoktrinasi radikalisme dan terorisme saat ini yang menyasar keluarga.
Lebih lanjut, Eddy mengatakan bahwa keluarga ialah tempat untuk memupuk kasih sayang, maka sudah sepantasnya dijaga dan dilindungi dengan baik. Eddy mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menyayangi kelurga dan menjauhkan mereka dari paham radikalisme yang mengarah ke terorisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H