Terhitung sejak tanggal 14 Agustus 2014 lalu, Pemerintah melalui Bank Indonesia telah mencanangkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang ditandai dengan ditandatanganinya nota kesepahaman atau MoU antara Bank Indonesia dengan empat lembaga lain. keempat lembaga tersebut adalah Kementerian keuangan, Kementeraian Koordinator Perekonomian, Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Berbicara mengenai GNNT, saya jadi terkenang kembali masa awal kebiasaan bertransaksi non tunai, pertengahan tahun 2013 lalu. Jenis Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) paling pertama yang saya gunakan untuk bertransaksi non tunai adalah uang elektronik keluaran sebuah bank swasta. Lho, kok bukan kartu debet? Saya memang sudah lama punya kartu ATM – yang ternyata juga berfungsi sebagai kartu debet. Kalau tak salah, sejak SMA. Tapi saya baru tahu cara “gesek” pakai kartu debet pada akhir 2013. Itupun setelah diejek teman saya, karena tiap mau belanja harus berburu ATM. Norak ya saya?
Namun, kali ini saya tidak akan bercerita tentang saat berkenalan dengan uang elektronik. Saya akan bercerita tentang pengalaman ayah saya, Bapak Ramelan (62 tahun), berinteraksi dengan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) di Kampung CIjambu, Kabupaten Tasikmalaya.
“Keakraban” ayah saya dengan transaksi non tunai di desa tempat beliau tinggal dimulai sejak beliau mendaftar sebagai salah seorang agen pulsa pada sebuah bank swasta di Kota Tasikmalaya, tahun 2011 lalu. Ketika mendaftar menjadi agen, ayah saya memilih fitur agen yang menggunakan mesin EDC (Electronic Data Capture) sebagai alat bantunya. Oleh karenanya, setiap transaksi beliau pasti memanfaatkan kartu debet, yang merupakan salah satu jenis APMK dalam transaksi non tunai.
Saya pun jadi penasaran kenapa beliau memilih fitur menggunakan kartu, bukan via internet banking seperti yang dipilih para pesaingnya yang lain. “Fitur pembayaran pakai mesin EDC ini lebih enak, karena ayah berasa punya mesin ATM sendiri di rumah” jawab beliau saat saya tanyakan alasannya.
Kenapa jarak dengan mesin ATM menjadi penting? Karena di lingkungan tempat beliau tinggal, gerai ATM terdekat berada di kota kecamatan yang jaraknya lebih dari 12 km. Jarak itu dirasa cukup jauh dan merepotkan bagi beliau di usianya yang sudah tidak muda lagi.
“Kalau punya ATM sendiri kan enak. Selain bisa dipakai buat bayar macam-macam seperti pulsa, token listrik, dan pembayaran listrik. Kita juga bisa pakai buat transfer. Jadi, kita bisa bantu saudara atau tetangga yang mau transfer. Mereka gak perlu jalan jauh” ujar beliau. Ternyata ada “alasan sosial” yang melatarbelakangi beliau memilih fitur EDC dan kartu debet sebagai alat pembayaran “toko” pulsanya.
Kini, empat tahun berlalu. Alhamdulillah, jumlah masyarakat yang ikut merasakan manfaat “ATM rumahan” ayah saya kini semakin bertambah. Beliau memiliki kurang lebih 500 orang pelanggan untuk pembayaran listrik dan token listrik prabayar, ditambah saudara dan para tetangga yang cukup sering ikut transfer dari “ATM rumahan”nya.
Ternyata manfaat transaksi non tunai pun bisa dirasakan oleh masyarakat di pedesaan, seperti yang dialami oleh ayah saya. Gerakan seperti ini baiknya dikembangkan lebih luas lagi, terutama dalam hal sosialisasinya sehingga bisa menjangkau lebih banyak elemen masyarakat.