Mohon tunggu...
Fifin Nurdiyana
Fifin Nurdiyana Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS, Social Worker, Blogger and also a Mom

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terima Kasih Valentine, Terima Kasih Mantan

21 Februari 2017   21:28 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:24 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (hipwee.com)

Aku tak pernah menyebutnya kenangan. Cukup masa lalu. Bagian dari takdir. Bagian dari perjalanan hidup.

Seseorang itu bernama Hans. Pernah mengisi relung hati. Pernah menjadi suka cita. Pernah menjadi bagian dari airmata. Bersamanya, pertama kali aku menjadi kekasih, pertama kali juga aku menjadi seorang mantan kekasih. Lima tahun lalu. Di bulan Februari.

Sejak terakhir kebersamaanku dan Hans, sudah kuputuskan untuk tidak menoleh kembali ke belakang. Karena itu aku tak pernah menyebutnya kenangan. Bagiku, tak ada yang perlu dikenang. Kubiarkan semua mati terkubur. Terkubur tanpa nisan. Jika suatu hari nanti aku bertemu kembali dengannya, maka ia hanyalah “sosok baru” yang hadir tanpa embel-embel “mantan kekasih” atau apalah, apalagi sampai membongkar kembali serpihan kisah lama yang pernah terangkai.

Rupanya Tuhan menguji keteguhan hatiku. Tepat lima tahun, tepat di bulan Februari, sosok baru yang bukan mantan kekasih, yang bukan kenangan bagiku, tiba-tiba menyeruak hadir di sela-sela hariku. Jujur saja, hatiku mendadak porak-poranda. Entah perasaan apa, karena aku juga belum pernah merasakan sebelumnya.

Hans hadir dengan segala pesonanya. Tak dapat kupungkiri, masa lalu itu berkilas balik di otakku. Tiba-tiba ingatanku lima tahun silam mengerubuti tanpa peduli aku suka atau tak suka. Saat Hans menyatakan cintanya padaku. Memakaikan cincin monochrome. Saat Hans mengajakku bertemu keluarga besarnya. Memperkenalkan aku pada ibunya. Saat Hans menyanggupi untuk takkan meninggalkanku dengan alasan apapun. Sampai saat Hans perlahan menjauh. Dan Februari lima tahun lalu, Hans begitu tegarnya memutuskanku, meninggalkanku dalam kepedihan, disaat pasangan-pasangan lainnya tengah berbahagia membuncah merayakan hari kasih sayang mereka.

Kala itu aku hanya bisa terpaku. Membisu. Bahkan sekadar menanyakan alasan pun aku tak mampu. Aku hanya merasakan kepedihan yang teramat sangat. Merasakan luka yang menyayat. Perih. Dan aku seketika membencinya. Memutuskan takkan menoleh sedikitpun padanya, di akhir pertemuan kita. Kukuatkan diri untuk tak menjadikannya kenangan. Bagiku Hans sudah mati. Kukuburkan semua tentangnya tanpa nisan diantara ribuan masa lalu lainnya.

Dan lima tahun lamanya aku berteguh untuk tak pernah membongkar kisah kasih Hans. Kuhabiskan waktu untuk berteman sebanyak-banyaknya. Kuabdikan pikiranku untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. Bahkan aku mengabaikan laki-laki lain yang mencintaiku. Aku belum cukup siap merajut kisah lagi. Bukan karena trauma atau apa, tapi aku masih sangat menikmati kesendirianku. Menikmati keberhasilanku dalam memperbaiki kontrol hati yang sempat rusak karena Hans.

Tapi Tuhan Maha Kuasa. Jauh lebih kuasa dibanding kuasaku pada diriku sendiri. Hans tiba-tiba hadir kembali. Profesi yang sama mempertemukan kita kembali. Dalam sekejap, aku dan Hans berada dalam satu perusahaan yang sama ! berada dalam proyek yang sama ! dan tentu saja akan begitu banyak waktu terlewati bersama ! ah !

Keteguhan hatiku diuji. Dan memang, ternyata begitu mudahnya hatiku menggamang. Begitu mudahnya aku larut dalam masa lalu. Padahal, bukankah aku sudah menguburkannya ? bahkan tanpa nisan ? bukankah aku sudah berjanji, jika bertemu kembali dengannya akan menganggapnya sebagai sosok baru tanpa embel-embel mantan kekasih ? ah, aku benar-benar salah tingkah dengan diriku sendiri. Karena nyatanya, hati tak bisa berbohong, aku tetap melabelinya “mantan kekasih” dengan serentetan kisah kasih kita kala itu.

Aku tak tahu apakah Hans merasakan hal yang sama. Aku juga meragukan ingatannya tentang masa lalu kami. Mungkin, di beberapa kisah bahagia dia ingat, lantas bagaimana dengan bagian yang penuh dengan kesedihan ? apa dia masih mau berbagi kisah denganku ? apa sanggup dia menghadapiku yang pernah terluka karenanya ? entahlah...

Beberapa selang waktu terlibat dalam urusan yang sama, Hans tak pernah mengungkit masa lalu terlalu dalam. Ia lebih banyak mengumbar senyum dan ide-ide cerdas untuk kemajuan proyek kami, meski sesekali ia juga menanyakan keadaanku dan kabar orangtuaku serta beberapa sahabatku yang sempat mengenalnya. Selebihnya hanya sekadar traktiran makan siang atau paket donat untuk cemilanku di kantor. Itu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun