Jika fakta di lapangan demikian, maka ada beberapa hal yang harus segera dievaluasi agar tidak terlihat pincang antara kebijakan dan kondisi riil nya, apakah mengubah batas usia kerja atau merevisi batas usia produktif.
Hal ini perlu, agar masyarakat juga tidak menjadi bingung akibat kebijakan yang berkesan ambigu. Menyelaraskan antara usia kerja dengan usia produktif atau mengerucutkan definisi usia produktif itu sendiri.
Berikut beberapa pandangan tentang bagaimana menyikapi batas usia produktif, khususnya di bursa kerja Indonesia :
Pertama, selaraskan kebijakan dengan melibatkan seluruh pemangku kebijakan agar bisa melahirkan ketetapan yang tidak ambigu, misalnya kementerian ketenagakerjaan, BPS, pencatatan sipil, kementerian kesehatan, kementerian keuangan, dll.
Kedua, buat kebijakan dan sosialisasikan tentang relevansi syarat usia dalam melamar kerja dengan para pembuka lowongan kerja.
Ketiga, untuk para usia produktif sebaiknya memang tidak bergantung pada lowongan kerja, namun juga harus berinisiatif membuka bidang kerja sendiri (berwirausaha mandiri)
Keempat, penguatan skill dan finansial harus dimulai sejak dini, agar ketika masuk di usia produktif dapat menjadi bekal seseorang untuk lebih mandiri tanpa bergantung pada lowongan kerja.
Kelima, fasilitasi berfokus pada usia produktif yang tidak termasuk dalam usia melamar kerja, yaitu 15-17 tahun dan diatas 30 tahun melalui pelatihan-pelatihan kerja mandiri, pemberian bantuan dana wirausaha, dll.
Dengan penguatan-penguatan kelima hal tersebut diharapkan dapat membantu mengurangi risiko angka pengangguran di era bonus demografi saat ini yang dapat menghambat laju pembangunan.
Namun harus diingat, era bonus demografi bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, tapi juga menjadi tanggungjawab kita bersama.
Maka, persiapkan generasi muda sejak dini, baik dari segi pendidikan, kesehatan, finansial, dll agar mereka bisa lebih siap ketika memasuki usia produktifnya kelak.