Beberapa waktu belakangan saya merasa sedikit geram dengan tingkah laku si sulung dan anak kedua yang kompak tidak beranjak dari gawainya, sementara si bungsu sibuk mengambilkan makan dan minum untuk mereka. Si bungsu dengan polosnya meletakkan makan dan minum di hadapan kedua kakaknya sembari berkata "ni kak...mau diambilin apa lagi kak ?" Bahkan, tanpa berucap terimakasih, mereka tetap asyik bermain gawai.
Tapi saya tidak lantas seketika marah melihat itu semua. Karena, si adik pun terlihat fine-fine aja ketika disuruh kedua kakaknya. Bahkan, setelah mengambilkan makan, si adik pun ikut larut bermain gawai bersama kedua kakaknya. Mereka tampak tertawa bersama dan akur.
Meski demikian, saya juga tidak mau perilaku seperti ini menjadi hal biasa bagi ketiganya. Bagaimanapun, merasa superior diantara saudara itu bukan perilaku yang terpuji. Ketika merasa superior, kita cenderung akan "seenaknya" dalam memperlakukan orang lain. Kita akan rentan merendahkan dan memanfaatkan orang lain, karena kita menganggap sebagai pribadi yang lebih unggul dibanding orang lain tersebut. Maka tak jarang orang dengan sifat superior akan kerap dicap sombong dan angkuh.
Superioritas sendiri diartikan sebagai suatu keunggulan atau kelebihan (KBBI). Dalam psikologi ada istilah kompleks superioritas, yaitu suatu gangguan dalam jiwa seseorang yang dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mencapai kesempurnaan. Penderitanya biasanya merasa tidak mau direndahkan oleh orang lain (harus unggul dari orang lain). Jadi, sikap superioritas jika tidak dibarengi dengan kontrol yang baik maka dapat menjadi suatu gangguan kejiwaan.
Walaupun lebih sering bermakna konotasi, namun memiliki sifat superior ternyata juga dibutuhkan di beberapa situasi dan kondisi, misalnya ketika berada di lingkungan yang toksik, mau tidak mau kita harus mampu menunjukkan superioritas kita agar tidak mudah menjadi korban toksik. Contoh lainnya, misalkan ketika berada di area pertandingan atau perlombaan. Tentu saja kita harus menunjukkan segala kemampuan yang dimiliki agar dapat menjadi juara. Superioritas juga dapat ditunjukkan seorang pimpinan kepada bawahannya agar terjaga wibawanya.
Superior pada Anak-Anak
Seorang Psikolog ternama, Alfred Adler, mengemukakan bahwa ada 2 (dua) dorongan utama yang pada akhirnya melatarbelakangi perilaku manusia, yaitu dorongan keakuan dan dorongan kemasyarakatan. Dorongan keakuan lebih ke tujuan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi. Sementara dorongan kemasyarakatan menggiring ke tujuan kepentingan bersama.
Dari konsep diatas, Adler menyimpulkan bahwa dorongan keakuan sifatnya lebih agresif yang kemudian berkembang menjadi keinginan untuk berkuasa dan pada akhirnya menjadi pribadi yang superior.
Maka tak heran jika mereka yang superior cenderung lebih agresif dan semena-mena terhadap orang lain yang dianggap inferior. Namun jangan salah, sifat superior ini dapat muncul akibat adanya celah dari si inferior, sehingga sikap superiornya lebih mendominasi.