"Tradisi itu perlu tapi bukan yang utama. Keutamaan ibadah adalah bagaimana mempersiapkan diri untuk ikhlas dan tawakal selama menjalankan ibadah..." --- begitulah nasehat mbah saya yang kini telah tiada.
Ramadhan sudah di depan mata. Puasa akan segera dijalani selama sebulan. Bulan nan fitri penuh ampunan. Rasanya sangat merugi jika kita melewatkannya tanpa kesungguhan hati. Mengapa ? karena bulan ramadhan akan datang setiap tahun namun usia kita tiada yang tahu.
Orang-orang sibuk memperbincangkan menyambut bulan puasa. Ada yang bingung hendak memasak apa di sahur pertama. Ada yang sibuk mengadakan tradisi punggahan untuk menyambut puasa. Ada yang berbondong-bondong untuk berziarah. Ada juga yang sudah mengirimkan pesan-pesan bernada ramadhan di media sosial. Ramai sekali antusias mereka dengan datangnya bulan berkah ini.
Namun semuanya hanya tradisi. Hal utama yang harus disiapkan sebenarnya bukanlah itu semua, melainkan bersihnya hati dan keikhlasan serta tawakal menjalani ramadhan. Tradisi hanya salah satu media agar kita lebih bersemangat menyambut ramadhan, namun bukan esensi yang sesungguhnya.
Meski terlihat sederhana dan mudah, namun nyatanya membersihkan hati, ikhlas dan tawakal bukan perkara yang mudah. Butuh kesabaran dan pemahaman yang utuh tentang makna beribadah di bulan ramadhan. Meyakini sepenuhnya bahwa bulan ramadhan adalah bulan penuh rahmat dan ampunan, sehingga tentu saja nilai ibadah di bulan ini akan dilipatgandakan dibandingkan hari-hari biasa. Itulah mengapa kita harus benar-benar mampu menahan hawa dan nafsu agar dapat memeroleh rahmat di bulan suci ini.
Barangkali saya adalah salah satu yang tidak melakukan ritual tradisi apapun jelang ramadhan. Bukan anti tradisi, tapi memang saya lebih fokus menyiapkan mental untuk ibadahnya. Ini penting sekali dan tidak mudah. Bagaimana tidak ? saya yang biasa suka marah-marah kalau ada pekerjaan yang tidak selesai, tiba-tiba harus mampu menahan emosi.Â
Saya yang biasa suka lapar sebelum jam makan siang tiba-tiba harus menahan lapar dan haus hingga waktu berbuka. Atau saya yang biasa bangun di jam subuh tiba-tiba harus bangun di jam sahur. Perubahan-perubahan ini tentu saja sedikit banyak memengaruhi kondisi mental saya. Jika tidak dipersiapkan secara matang, bukan tidak mungkin saya akan menjalani ibadah puasa dengan hati yang kurang ikhlas, seperti mengeluh, dongkol, malas, dll.
Jika keikhlasan dan kesiapan mental menghadapi puasa sebulan tidak didapat, sudah dipastikan kita akan menjadi manusia yang paling merugi. Sudah berpuasa menahan lapar dahaga dan hawa nafsu, tapi tidak mendapat pahala apa-apa karena ketiadaan rasa ikhlas tadi. Sayang sekali bukan ? meski pahala dan dosa adalah urusan mutlak Tuhan, namun manusia dibekali akal dan pengetahuan agar bisa berupaya mengejar rahmatNya.
Lantas, apa yang harus dilakukan agar mental dan keikhlasan serta tawakal itu bisa didapat selama bulan ramadhan?