Menurut WHO, yang disebut anak adalah seseorang yang masih dalam kandungan hingga usia 19 tahun. Sementara UU Nomor 3 tahun 1997 menambahkan dengan syarat belum menikah. Jika diambil benang merahnya, maka yang dimaksud anak adalah mereka yang berada di rentang usia dalam kandungan hingga 19 tahun dan belum menikah.
Ini artinya, setiap anak adalah dilahirkan dari rahim yang sama, yaitu rahim seorang ibu dan melalui proses hubungan biologis antara perempuan dan laki-laki. Terlepas dari adanya pernikahan atau tidak, anak tetaplah anak. Mereka tetap punya hak yang sama, yaitu mendapatkan kasih sayang dari orangtua dan lingkungannya.
Seorang anak tidak dapat memilih bersama siapa ia dilahirkan. Namun yang pasti, anak dilahirkan atas kehendak Tuhan. Jadi, sudah sepatutnya sebagai insan yang beragama kita tidak mempertanyakan apa yang sudah menjadi kehendak Tuhan. Tugas kita hanya menerima dan mensyukuri apa yang sudah Tuhan berikan dengan menerima kehadiran anak secara sukacita.
Setiap orang berharap memiliki pernikahan yang utuh. Idealnya, mereka dapat memiliki seorang anak dari sebuah pernikahan yang langgeng dan harmonis. Namun apa lacur, tidak semuanya pernikahan berjalan ideal. Tidak sedikit pasangan yang mendapatkan anak justru di luar pernikahan atau mendapatkan anak dari pernikahan yang hanya sebentar (bercerai).
Anak-anak yang mengalami situasi tidak ideal ini banyak menyita perhatian. Beberapa bersimpati, namun justru lebih banyak yang memandang miring kepada mereka. Komentar-komentar nyinyir, cemoohan dan ejekan kerap menghiasi hari-hari mereka. Mirisnya, mereka juga dilabeli sebagai "anak broken home" dan "anak haram".
Tentu sangat tidak mengenakkan berada di posisi seperti ini. Anak-anak yang seharusnya mendapat tempat yang nyaman untuk tumbuh dan berkembang, nyatanya malah sebaliknya, menjadi tempat yang menyakitkan bagi mereka.
Istilah broken home sendiri sudah ada sejak tahun 1800-an dan mulai dikenal mulai abad ke 20. Sebuah istilah yang menggambarkan sebuah keluarga yang tidak utuh lagi akibat perceraian. Para pakar psikologi menyebutkan bahwa salah satu dampak terbesar pada kasus perceraian adalah anak. Anak akan berpotensi besar mengalami gangguan kesehatan mentalnya seperti stress, tertekan, kehilangan kepercayaan diri dan perasaan merasa bersalah (Pawitri Anandika, 2020).
Gangguan kesehatan mental ini dapat berdampak pada proses tumbuh kembangnya serta prestasi belajarnya. Anak akan kehilangan semangat dan kepercayaan dirinya, apalagi ketika melihat sebayanya memiliki keluarga yang utuh. Anak akan merasa bahwa mereka punya kehidupan yang buruk dan tidak beruntung.
Keadaan ini diperburuk dengan penerimaan masyarakat terhadapnya. Tak sedikit masyarakat yang menyematkan label "anak broken home" kepada mereka. Pelabelan yang bersifat konotasi ini akan berdampak buruk pada kondisi psikologis anak. Mereka akan semakin meyakini bahwa kehidupan mereka memang benar-benar sangat buruk. Hal ini dikuatkan dengan anggapan negatif masyarakat terhadapnya.
Kondisi serupa juga dialami oleh anak-anak yang terlahir di luar pernikahan yang sah. Mereka juga tak kalah memprihatinkan karena kerap mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari lingkungan di sekitarnya.
Anak yang lahir di luar pernikahan yang sah juga akan mengalami gangguan kesehatan mentalnya. Mereka juga akan mengalami stress dan tertekan ketika mendapati dirinya adalah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah. Sekali lagi, pelabelan "anak haram" dari masyarakat akan semakin memperparah keadaan mental mereka. Mereka cenderung akan merasa minder, malu, kecewa serta merasa bahwa dirinya sangat tidak berarti.