Dalam dunia kerja, kita dituntut untuk dapat mengerjakan dan menyelesaikan apa yang menjadi fungsi dan tugas pokok kita. Kita harus memiliki target pencapaian agar dapat memenuhi nilai-nilai prestasi kinerja. Sedangkan untuk mencapai target tersebut, skill kita diuji, apakah mampu bekerja dengan baik atau justru hanya berada pada kisaran "biasa-biasa" saja.
Pada level atasan, peran bawahan (staff) adalah sangat penting. Atasan memiliki kewenangan untuk memerintah bawahan dalam membantu pekerjaan agar tercapai target tersebut. Namun kenyataannya, seringkali dijumpai sosok atasan yang belum memiliki skill dan tanggung jawab yang mumpuni.Â
Tak jarang, justru bawahan yang memiliki inisiatif, skill dan etos kerja yang lebih baik ketimbang atasannya. Bahkan sering kita mendengar ungkapan "atasan cuma bisa memerintah, yang kerjakan semua ya bawahan!"
Pada beberapa kasus, atasan hanya menerima "hasil" pekerjaan tanpa tahu dan peduli proses pengerjaannya. Dan ia nyaman dengan keadaan tersebut. Namun, di beberapa kasus lainnya ada atasan yang merasa "cemburu" melihat bawahannya lebih tahu segalanya ketimbang dirinya. Apalagi, jika bawahan lebih banyak aktif dan kreatif sehingga mendapat apresiasi berupa pujian atau reward lainnya dari rekan sekantor.
Perasaan minder, cemburu dan rasa serba tidak enak kerap dirasakan oleh atasan yang memiliki bawahan lebih tahu segalanya dari dirinya. Walaupun di satu sisi, keuntungannya beban kerja atasan dapat berkurang.
Saya sendiri tidak menampik jika ada bawahan yang memiliki skill dan potensi lebih ketimbang atasannya. Bagi saya, hal itu sah-sah saja sepanjang aturan hirarki dalam dunia kerja juga harus diperhatikan. Artinya, bawahan boleh aktif dan tahu segalanya, tapi ia juga harus menjaga diri dan menempatkan dirinya pada posisi yang ada.Â
Jika ia berada di posisi bawahan, ya tentu saja sikap, wewenang dan fungsi tugas pokoknya harus tetap berada pada level bawahan. Bawahan tetap harus menghormati atasannya kendati ia memiliki kemampuan dan pengetahuan yang lebih luas ketimbang atasannya. Terlebih dalam pengambilan keputusan, bawahan tidak boleh mendahului keputusan yang diberikan oleh atasannya. Meskipun, saran dan masukan boleh diberikan.
Jangan sampai, bawahan yang merasa lebih dari atasannya lantas hilang rasa hormatnya sehingga bersikap tidak menjaga marwah dari atasannya. Bagaimanapun, atasan tentu saja memiliki jenjang karir yang lebih tinggi ketimbang bawahan, yang artinya ia memiliki prestasi kinerja dan pengalaman lebih sehingga mendapat reward berupa kenaikan jabatan.
Lantas, bagaimana dengan atasan sendiri? Haruskah atasan cemburu memiliki bawahan yang "tahu segalanya" lebih daripada dirinya?
Seorang atasan semestinya memiliki sense of leadership, sehingga ia mampu menghadapi segala kemungkinan yang ada, termasuk kemungkinan memiliki bawahan yang "lebih" dari dirinya.Â
Sense of leadership bukan hanya berbicara tentang skill secara teknis, tapi juga kemampuan bagaimana membentuk personaliti yang baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Justru kemampuan "menjaga" hubungan sosial inilah yang menjadi modal utama bagi atasan untuk menciptakan suasana kerja yang nyaman.