Matanya nanar. Bibirnya menghitam. Kulitnya di beberapa bagian mengelupas. Penuh borok. Penuh nanah. Ia hanya membisu. Tak ada kata-kata. Hanya sesekali meraung saat lapar. Entah apa ia masih bisa merasakan dingin saat malam dan hujan atau gerah saat matahari menyengat di siang hari. Ia tergolek di sudut ruang sempit dan gelap. Berteman dengan sepi. Bersahabat dengan bau anyir dan busuk yang menyeruak tatkala ruangan itu sedikit terbuka. Saat mak Kus mengantar sepiring nasi lauk telur dadar dan segelas air putih.
Mak Kus sudah terbiasa dengan bau yang menyengat itu. Mungkin itulah gambaran kasih seorang ibu pada anaknya. Bagaimanapun keadaan Dahlia, mak Kus tetap berusaha menyayangi dan merawatnya. Wanita renta yang tak kenal lelah berharap kesembuhan Dahlia. Wanita yang begitu tegar saat warga berbondong-bondong memasung Dahlia.
Keberadaan Dahlia dianggap ancaman yang menakutkan bagi warga kampung. Beberapa warga mengeluhkan tentang perilaku Dahlia yang kerap mengganggu kenyamanan warga dalam beraktifitas. Mereka bilang, Dahlia suka tiba-tiba melempar batu pada warga yang lewat. Bukan hanya itu, mereka juga bilang bahwa Dahlia suka marah dan mengancam akan membunuh warga.
Mak Kus hanya pasrah saat warga kampung mendatangi rumahnya dan meminta agar Dahlia dipasung saja agar warga kampung bisa beraktifitas dengan tenang tanpa ada rasa takut. Dan hari itu juga, sepuluh tahun yang lalu, Dahlia dipasung tanpa ampun.
"Makan, nduk... Dahlia..." mak Kus menyodorkan piring dan gelas ke dekat Dahlia.
Dahlia beranjak duduk dan meraih piring plastik lalu melahapnya.
Mak Kus memijit pelan telapak kaki Dahlia yang tampak mengecil akibat pasungan. Tangannya yang penuh kerutan usia berusaha mengurut agar Dahlia merasakan bahwa ia sangat menyayanginya.
"Sudah sepuluh tahun, nduk... Sabar ya nduk..." suara mak Kus terdengar getir
Dahlia tak bergeming. Ia tetap melahap makanannya sampai habis.
Mak Kus tak pernah peduli. Setiap kali ia berkata tak pernah ada jawaban. Baginya, bisa menatap kekosongan mata Dahlia itu sudah lebih dari cukup. Ia selalu percaya, meski Dahlia dianggap kehilangan akal dan fikiran, tapi ia tetap memiliki hati. Karenanya, mak Kus tak pernah merasa takut kehilangan cinta Dahlia padanya. Anak satu-satunya yang ia miliki. Anak yang tak pernah mengenal siapa bapaknya. Dahlia hanya memiliki mak Kus. Ibu yang melahirkan dan membesarkannya.
Meski warga kampung menghakiminya, namun mak Kus tetap yakin bahwa Dahlia tidaklah sejahat yang mereka tuduhkan. Tak pernah sekalipun Dahlia menyakitinya. Dahlia hanya tak tahu apa yang dilakukannya. Ia hanya ingin diperhatikan. Ia hanya ingin disayangi. Tidak lebih.