Mungkin kita tak pernah tahu dan tak mau tahu mengapa seseorang tidak menceritakan masa lalunya. Mengapa seseorang tak mengungkapkan apa yang diketahuinya dan memilih menguburkannya dalam masa lalu. Masa lalu yang telah menjadi abu. Masa lalu yang tak semestinya terus mengikuti. Masa lalu yang cukup menjadi pelajaran berharga. Masa lalu yang takkan terulangi.
Sepenggal kisah yang menyelip diantara ribuan lembar perjalanan hidupku terkuak. Masa depan seperti tengah menelanjangiku. Tak peduli airmataku. Tak peduli akan rasa lelah yang harus kusangga seorang diri. Masa depan menunjukku dengan kekecewaan. Seolah tak ada celah bagiku untuk sekadar memberi alasan. Aku tersudut.
Katanya, aku salah. Aku lemah. Aku berbohong. Dan tatapannya membuatku tak mampu menyembunyikan kecamuk di hati. Bibirku kelu. Semua kata bersembunyi di balik airmata. Entah apa lagi yang bisa kupersembahkan untuk mengimbangi pahitnya kenyataan. Aku terdiam.
Masa depan bilang aku berbohong. Tapi apakah masa depan menanyakan kenapa ? tidak, masa depan tak pernah menanyakan itu.
Aku juga tidak merasa berbohong. Aku hanya tidak menceritakannya. Tidak menceritakan apa yang sudah kukubur. Karena itu hanya masa lalu, bukan kenangan, bukan nostalgia. Rasanya, cukup menjadi bagian dari kisah hidup saja. Tidak kurang tidak lebih.
Aku punya perjalanan hidup yang tidak selamanya indah. Pahit getir telah kulalui. Kekecewaan menjadi bagian dari setiap episode. Kesalahan tak luput di setiap langkah kupilih. Masa yang telah kulewati menjadi masa lalu. Namun tak selamanya masa lalu menjadi kenangan. Ada saatnya ia mati dan musnah ditelan waktu.
Aku punya alasan di setiap apa yang kulakukan. Pun dengan apa yang tidak kuceritakan. Bukan untuk membohongi apalagi mempermainkan rasa. Masa depan memang mengenal kebohongan. Tapi tidak mengetahui bahwa tidak semua kebohongan adalah absurd.
“kamu sudah membohongiku...” desis Biyan
Aku menggeleng, “aku hanya tak menceritakannya...”
“ketika kamu menanyakan kebenarannya, aku menjawab dengan jujur...” lanjutku