Indonesia adalah negara yang multikultur dengan berbagai macam suku, agama, ras dan adat-istiadat. Dan ini merupakan kekayaan bangsa yang semestinya diapresiasi dengan baik. Perbedaan tak selayaknya menjadi agenda perpecahan. Justru dengan perbedaan harusnya memberi kesempatan kita untuk belajar bertoleransi, hormat-menghormati dan saling menghargai satu sama lain.
Saat ini kita tengah berada di kehidupan yang serba digital. Kecanggihan di era modern menjadikan interaksi antar manusia menjadi sangat mudah dan terbuka. Manusia “diajak” untuk menyelami dunia maya, dunia yang dinakhodai oleh mesin teknologi.
Di satu sisi, teknologi digital ini sangat bermanfaat. Aplikasi-aplikasi di dalamnya dibuat untuk memberi kemudahan bagi manusia untuk beraktifitas. Salah satunya adalah media sosial. Media interaksi digital yang katanya “dapat mendekatkan yang jauh” tapi juga “dapat menjauhkan yang dekat”. Kalimat pertama tentu bermakna denotasi.
Dengan media sosial, seseorang yang berada di lokasi yang jauh dapat “merasa” dekat dengan seseorang lainnya hanya dengan berkomunikasi melalui media sosial. Namun pada kalimat kedua sepertinya lebih bermakna konotasi. Artinya, media sosial juga dapat menjadi “ranjau” bagi para penggunanya karena dapat “menjauhkan” yang dekat. Manusia dilenakan dengan kemudahan berinteraksi di media sosial sehingga kerap melupakan interaksi di dunia nyata yang notabene “lebih dekat”.
Jika keadaan ini tidak disikapi dengan bijak, tentu saja kehadiran media sosial bukan lagi menjadi sesuatu yang manfaat tapi justru berbalik “menyerang” menjadi bumerang bagi manusia. Manusia cenderung bebas berinteraksi tanpa ada filter yang menyaringnya. Kebebasan seperti ini tentu bukan kebebasan yang diharapkan. Sebab bagaimanapun, kebebasan harus tetap dibarengi dengan aturan, batasan dan norma-norma yang berlaku.
MEDIA SOSIAL DAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Kebebasan dalam berinteraksi di dunia digital bisa dikatakan masih belum memiliki batasan yang jelas. Meski sudah ada UU ITE namun kenyataannya, tindak kriminal secara digital masih belum maksimal untuk ditindaklanjuti. Faktornya bisa sangat banyak, diantaranya kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum khususnya hukum teknologi informasi, minimnya aturan-aturan yang berlaku untuk menjerat para pelaku kriminal digital serta kuatnya arus perkembangan teknologi sehingga sulit untuk dikendalikan.
Keadaan ini bisa menjadi sangat berbahaya bagi kehidupan kerukunan umat beragama di Indonesia. Kebebasan dalam berinteraksi di dunia maya dapat merusak keberagaman agama yang selama ini dijunjung tinggi oleh negara kita seperti yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28E Ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Selain itu juga ditegaskan kembali pada Pasal 29 Ayat (2) yang menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Di dunia maya (khususnya media sosial) setiap orang bebas berpendapat. Tutur kata dan bahasa pun bukan lagi menjadi hal yang harus dikedepankan dalam adab mengeluarkan pendapat. Terbukti dengan maraknya pendapat yang lebih menjurus pada anarkis, sarkas bahkan bar-bar. Setiap orang bebas menggunakan kata-kata yang kasar, jauh dari kata santun, melecehkan, mengumpat sehingga memicu amarah, menebar kebencian hingga pada akhirnya menjadi kericuhan di dunia nyata.
Pada kondisi ini, secara tidak langsung masyarakat menerima “dogma” untuk memiliki sifat “etnosentrisme”, yaitu mengagung-agungkan budaya dan agamanya sendiri tanpa peduli dan membenci budaya dan agama lainnya. Sifat ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan perpecahan diantara perbedaan yang ada.
Bisa kita lihat, saat ini sudah menjamur laman-laman yang menyebarkan informasi yang banyak menyudutkan salah satu agama dan kepercayaan tertentu, menebar fitnah serta kebencian yang dapat memicu perpecahan tanpa diketahui sumbernya secara jelas. Bahkan isu keberagaman umat beragama juga sudah menyentuh dunia politik. Gaung sosok pemimpin harus beragama A, harus dari suku B sangat santer menggema di media sosial.
Masih teringat dengan jelas juga, bagaimana media sosial menggemakan kasus Tolikara (pembakaran Masjid) menjadi sebuah pemberitaan yang memicu konflik menjadi lebih besar. Bukan saja menjadi kasus Tolikara saja, tapi juga menjadi kasus antara Islam dan Kristen secara menyeluruh. Bahkan, pada kasus lainnya, pembakaran vihara di Tanjung Balai Sumatera Utara, justru jelas bersumber awal dari postingan status salah satu oknum di media sosial yang pada akhirnya berujung pada peristiwa anarkis di dunia nyata.
Dari semua kasus itu, dapat diambil benang merah, bahwa masyarakat kita belum memiliki kesiapan yang matang menyikapi gempuran teknologi digital yang berkembang dengan sangat pesat. Masyarakat kita belum mampu bersikap bijak dalam menggunakan media sosial dalam berinteraksi. Sehingga media sosial yang seharusnya menjadi media yang bermanfaat justru menjadi media yang berpotensi memicu perpecahan.
FKUB DIGITAL
Meski demikian, bukan berarti pemerintah juga tidak melakukan tindakan apapun. Saat ini, di setiap daerah sudah ada naungan untuk membahas masalah kerukunan umat beragama. Mengingat persoalan agama sangat sensitif dan rawan konflik, maka dibentuklah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang tersebar di setiap daerah.
FKUB ini sendiri merupakan wadah bagi setiap umat beragama untuk saling berinteraksi, berdiskusi, dengar pendapat serta melakukan sosialisasi tentang kerukunan umat beragama pada masyarakat. Tujuannya tidak lain adalah sebagai media pemersatu berbagai agama untuk menjalin kerukunan dan menjaga persatuan kesatuan bangsa, menghindari perpecahan dan mencegah terjadinya konflik yang disebabkan oleh isu-isu agama.
Dan kehadiran FKUB ini sejauh ini cukup berperan besar dalam menjaga kerukunan umat beragama di daerah. Salah satu contohnya di daerah saya (Serdang Bedagai), dengan kapasitas FKUB yang berperan aktif, hampir tidak pernah terjadi konflik sosial yang disebabkan oleh isu-isu agama. Jika memang ada isu yang berpotensi konflik besar, maka FKUB, pemerintah daerah (kesbangpol) dan pihak-pihak yang terkait secara langsung bergerak aktif memback up situasi dan kondisi sehingga menjadi aman dan kondusif kembali.
Contohnya, jika terjadi konflik agama di media sosial dan berakhir ricuh, maka masyarakat pengguna media sosial akan dapat mendapat pelajaran secara langsung bahwa jika menggunakan media sosial dengan negatif maka akan menimbulkan konflik yang tidak diinginkan, dan masyarakat akan menghindarinya serta belajar dari pengalaman kasus yang pernah terjadi. Selanjutnya akan berlaku teori selektif, dimana masyarakat akan lebih selektif dan membuat filter masing-masing untuk menyaring segala bentuk informasi yang disampaikan di media sosial.
Dalam prosesnya, masyarakat akan belajar bagaimana menggunakan media sosial dengan lebih bijak terutama untuk isu-isu yang sensitif seperti soal isu agama. Masyarakat akan mengerti bahwa jika berpendapat sarkas di media sosial akan berdampak buruk dan menimbulkan konflik.
Tentu saja hal ini tidak akan dapat berjalan sendiri. Dukungan penuh dari pemerintah, Kementerian Agama dan pihak-pihak yang terkait dalam penanganan masalah kerukunan umat beragama mempunyai andil yang sangat besar. Sebab, bagaimanapun kewenangan masuknya segala bentuk media adalah di tangan pemerintah.
Selain itu UU ITE juga harus disosialisasikan secara menyeluruh agar dapat ditegakkan dan menjadi efek jera bagi masyarakat pengguna media sosial yang berlaku menyalahi aturan yang telah ditetapkan.
Jika sudah demikian, maka keberadaan media sosial dapat berfungsi laiknya FKUB namun berbentuk digital. Forum kerukunan umat beragama yang bergerak secara digital untuk turut mewujudkan terawatnya kerukunan umat beragama di Indonesia.
Bagaimanapun media sosial adalah media digital yang memiliki banyak manfaat. Tidak mungkin keberadaannya dipertentangkan atau bahkan ditolak. Sekarang tinggal bagaimana masyarakat pengguna media sosial dapat lebih cerdas dan bijak dalam menggunakan media sosial tersebut.
Pada hakikatnya, perbedaan itu akan memberikan warna yang indah selama kita dapat menerima perbedaan tersebut dan bertoleransi di dalamnya. Dan harus diketahui bahwa kerukunan umat beragama di Indonesia sudah terjalin sejak dahulu kala dan merupakan salah satu warisan kekayaan bangsa. Jadi, jangan sampai keberadaan media sosial dan media digital lainnya justru memicu kerusakan kerukunan tersebut.
Let’s be smart...ubah mindset sekarang juga bahwa media sosial bukan media pemicu konflik tapi justru merupakan media untuk merawat warisan kekayaan bangsa yaitu Kerukunan Umat Beragama !
Facebook : https://www.facebook.com/fien.fiqih
twitter : https://twitter.com/fifin_diyana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H