Mohon tunggu...
Fifi hariyanti
Fifi hariyanti Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tikus Berdasi dan Demokrasi

17 April 2019   21:23 Diperbarui: 17 April 2019   21:38 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Oleh: Fifi Hariyanti

Pada tanggal 17 April 2019 saat ini Pesta demokrasi telah samapai pada puncaknya, pembukaan pencoblosan yang dimulai pada pukul 07.00 WiB sampai pada pukul 13.00 WIB ini telah selesai, saat ini tinggal penghitungan suara, siapa yang terpilih menjadai Presiden dan Wapres, DPD, DPR, dan DPRRI.

Semua itu, ditentukan oleh usaha mereka saat berkampanye pada bulan-bulan sebelumnya, apabila trobosan mereka baik maka suara yang didapatkan akan baik pula, tergantung setrategi yang digukanan oleh mereka saat berkampanye untuk memikat hati masyarakat. Maka pada hari ini akan ditemukan hasilnya.

Saat mereka maju untuk menjadi calon Presiden dan Wapres, DPRRI, DPR, DPD, mereka harus menyediakan dana yang tidak sedikit. Dilansir dari bbc.com dana awal kampanye yang digunakan oleh kubu Jokowi dan Ma'ruf Amin sebesar Rp. 11,6 miliar itu berasal dari  bantuan beberapa paratai sedangkan dari kubu Prabowo dan Sandi sebesar Rp. 2 miliar.

Semua itu, dikarenakan sistem demokrasi yang ada di Negara Kesatuan Republik Inodensia, dalam pemilihan harus mengedepankan suara rakyak. Akan tetapi, semua itu membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Penggunaan dana yang tidak sedikit itu kemungkinan besar mendorong dan memaksa para pengusa dan para pendukungnya untuk korupsi. Para pengusaha dan penguasa saling bekerja sama dalam proses kampanye untuk mensukseskan tujuannya yaitu agar para calon yang diusungnya menjadi apa yang di inginkan.

Segala cara dan setrategi akan mereka gunakan tidak akan pangdang halal ataupun haram untuk meraih kekusasaannya, seperti maraknya kasus money politic, suap-menyuap sanksi bahkan kecurangan dana untuk serangan fajar jeleng pemilihan. Maka hal itu menjadi wajar, mereka menganggap biasa-biasa saja, walaupun dengan cara demikian tidak diperbolehkan dalam undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada.

Pada pasal 187A ayat (1), undang-undang tentang pinkada diatur, setiap oarang yang sengaja memberi uang atau meteri sebagai imbalan untuk memengaruhi pemilih maka orang tersebut dipidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, plus denda paling sedikit Rp 200 Juta hingga maksimal Rp 1 Milyar.

Pada pasal 187A ayat (2) diatur ketentuan pidana yang sama diterapkan kapada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dengan adanya prektek suap-menyuap saat kampanye dan pemilhihan berlangsung, maka pada saat yang didukung mendapatkan kekuasaan, para pengusa dan penguasa akan memghalalkan segala cara untuk memenuhi kepentingan pribadi atau partai yang mengusung menjadi prioritas utama dibandingkan kepentingan rakyatnya. Rakyat hanya menjadi penyumbang suara yang terlupakan.
Mahalnya demokrasi yang melahirkan banyak tikus-tikus berdasi semakin menunjukkan bahwa demokrasi merupakan sistem yang dijadikan sebuah kesempatan untuk korupsi. Maka dari itu, pengimplementasian undang-undang No 10 tahun 2016 tentang Pilkada harus benar-benar ditegakkan agar kasus korupsi tidak terus berlanjut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun