Sedari kecil hidupku biasa-biasa saja. Aku belum pernah mengalami masalah-masalah berat seperti para temanku. Misalnya Carisa, yang keluarganya hancur karena perceraian orang tuanya. Si Udin, yang ketika SD hingga SMA bingung menentukan keyakinan lantaran ibunya seorang muslim, sedangkan ayahnya pemeluk katolik. Ada juga Lucky, yang namanya tak seapik nasibnya. Dia terlahir dari keluarga melarat. Ayahnya adalah seorang penjual es keliling, dan ibunya bekerja serabutan. Lucky harus rutin menghadap kepala sekolah untuk meminta keringan uang sekolah.
Hidupku tidak pernah sekacau mereka. Ya bisa dibilang aku lebih beruntung dibandingkan mereka. Aku sangat bersyukur. Alhamdulilah. Hingga pada saat usiaku tiga belas tahun, aku mulai menyadari bahwa ada kecacatan parah dalam hidupku. Rupanya hidupku ini tidak sesempurna yang kubayangkan.
Dan letak ketidaksempurnaan hidupku itu ada pada ibuku.
Aku tiba-tiba menemukan beberapa fakta mengejutkan tentang ibuku. Sejak saat itu, rasa tidak sukaku pada ibu tumbuh. Aku menjadi benci akan segala hal yang berkaitan dengan ibuku. Pekerjaannya, gaya berbicaranya, masakannya, pilihan busananya, teman-temannya, bahkan aku pun membenci diriku sendiri lantaran aku anaknya.
Selama hidupku, aku tidak banyak melibatkan ibu dalam peristiwa-peristiwa penting. Ketika pertama kali aku menstruasi, orang yang dengan sabar mendampingiku mengatasi kepanikanku atas keluarnya luberan darah kotor dari organ intimku adalah Lik Riha. Dia merupakan adik ayahku. Lik Riha adalah tempatku berkeluh kesah. Dari Lik Riha juga aku perlahan mulai mengerti betapa menyebalkannya perangai ibuku.
"Nduk, ibumu itu ndak paham juga ya. Sudah hampir dua puluh tahun jadi istri ayahmu, masih ndak ngerti aja kalau ayahmu itu ndak suka makan ikan air tawar." Katanya.
Aku tidak memungkiri, ibuku memang tidak jago masak. Kemampuan memasaknya sangat menyedihkan. Ditambah lagi ibuku itu orangnya tidak mau belajar. Jadi hasilnya ya, masakannya tidak bervariasi. Aku hitung menu andalannya hanya empat : soto, ayam krispi (yang dimasak ibu untuk adikku saja, karena ayahku dan aku tak suka), sayur toge kuah kecap, dan ikan lele atau mujair goreng.
Ibuku tidak berusaha untuk memasak makanan yang disukai oleh semua anggota keluarga. Ibu hanya memasak makanan yang disukainya dan apa yang menurutnya praktis. Ujung-ujungnya, ayahku yang harus sering mengalah. Ayah punya beberapa penyakit kronis sehingga tidak boleh sembarangan makan. Harus berhati-hati. Akibatnya, ayahku terkadang hanya makan nasi putih tanpa lauk dan hanya ditemani dengan kerupuk.
Menyaksikan ayahku dengan gaji bulanan yang sebetulnya sangat cukup untuk makan dengan menu yang lebih layak adalah sebuah ironi. Duh ibu, apa salah ayahku sehingga ibu tega membiarkannya hanya makan nasi putih dengan kerupuk. Sementara ibu kerap dengan enaknya makan fastfood yang harganya tidak murah. Apa ibu lupa kalau uang makan itu adalah hasil kerja keras ayah?Di mana hati nurani ibu????
Aku sensitif sekali jika ada hal yang menyangkut ayahku. Itu karena aku sangat mencintainya. Ayahku adalah pria yang baik, pengertian, mengayomi keluarga, serta penyabar. Beruntungnya ibuku bisa bersuamikan ayahku. Minta ini itu dikabulkan. Apa keperluan ibu pasti diutamakan. Namun aku tidak melihat adanya balasan ibu untuk ayahku. Menurutku, semakin ibu dimanja semakin melonjak pula sikapnya.
Akhir-akhir ini ibuku sering pergi bersama teman-temannya dan pulang larut malam. Ibu juga kian berani membantah perkataan ayah. Ibuku nampaknya melupakan tugas primernya sebagai seorang ibu sejati. Hal itu membuatku geram, gelisah, marah, dan berduka. Aku pergi ke rumah Lik Riha untuk menceritakan semuanya.