Papaku hanya mematung dan ia tampak sama histerisnya denganku. Akan tetapi, dia diam saja dan tidak berteriak-teriak sepertiku.
Aku makin emosional melihat Papa yang mematung dan tidak memberiku penjelasan. Aku segera pergi dari rumah sambil terus menggenggam majalah itu. Aku memacu mobilku menuju sebuah rumah kontrakan seorang kakak tingkatku di universitas yang juga merupakan pengagum Papaku. Tanpa perlu menghubunginya, aku yakin dia pasti ada di dalam rumah kontrakannya yang berdebu dan kumuh.
Setibanya di rumah kecil itu, aku segera menggedor pintu dan berteriak memanggil nama orang yang hendak kutemui. Sore itu, aku ingin melampiaskan segala amarahku padanya.
"Zahra." Akhirnya dia muncul juga. Lelaki ini adalah mahasiswa jurusan ilmu politik yang sangat mengidolakan Papa. Dia pernah bilang padaku bahwa tidak ada dosen di kelas ilmu politik yang sehebat papaku. Dia sering keluar dari ruang kerja Papa saat jam telah menunjukkan pukul 00.00. Papa dan Edi betah sekali berbincang tentang berbagai kebijakan politik atau sekedar kisah kelam para politisi negeri ini di rumah keluarga kami hingga lupa waktu. Seringkali aku mendapati Edi mencuri-curi pandang ke arahku yang hanya mengenakan piama tipis untuk menunjukkan bahwa betapa menariknya diriku di matanya.
"Bajingan." Aku berteriak lemas sambil berusaha memukul seluruh bagian tubuhnya. "Siapa yang membayar Abang untuk menulis segala berita tentang Papaku."
Aku terus berteriak histeris. Air mata dan air ludahku membasahi wajah timur tengahku yang cantik ini. Si mahasiswa jurusan ilmu politik di hadapanku tampak tidak sanggup melihat kesedihanku. Dia segera memelukku dengan erat. Maka menangislah aku di pelukannya selama beberapa saat.
"Bang Edi jahat sekali. Apa salah Papaku, Bang?"
"Aku hanya ingin mengungkap kebenaran Za."
"Memangnya Abang pikir, Abang ini siapa sampai berani-beraninya mengungkap kebenaran." Mendengar jawabannya yang sok suci itu amarahku naik lagi.
"Za."
Tanpa basa-basi lagi, aku membuka semua kancing kemeja warna hijau tuaku yang merupakan hadiah ulang tahun dari Mama. Berikutnya, aku lepas perlahan rok span hitam kesanyanku ini. Selanjutnya aku tanggalkan satu persatu pakaian dalamku hingga benar-benar telanjang di depan Edi. Setiap hari, aku menyadari bahwa betapa indahnya tubuhku ini. Â