Hampir semua mata selalu melihat diriku dengan penuh kagum dan hormat. Paras timur tengah yang tegas yang diturunkan oleh para leluhurku ini membuat banyak orang di sekitarku beranggapan bahwa aku cukup cantik. Alis tebal, kulit putih, dan hidung yang menonjol adalah aset fisik yang sangat aku syukuri.
Aku begitu populer di kalangan para mahasiswa di universitas tempatku menempuh pendidikan S1. Selain karena nilai indeks prestasiku yang pasti di atas angka 3,5 Â di tiap semester, aku juga tersorot lantaran Papaku adalah seorang dosen sekaligus pejabat di kampus ini. Aku beberapa kali mendapatkan perlakuan khusus lantaran statusku sebagai anak Papa. Hampir setiap pegawai di kampus ini mengenaliku dan akan terus memandangku dengan tatapan penuh keseganan. Terkadang, aku berangkat kuliah dengan menumpang di mobil Papa. Beliau akan mengantarku hingga di depan fakultas dan membiarkan setiap mata mengetahui hubungan kami.
Aku mencintai Papaku sama baiknya seperti beliau mencintaiku. Papa sangat menyayangiku melebihi kedua kakak lelakiku.
"Aku jelas anak kesayangan Papa." Begitu ujarku kepada kedua abangku saat mereka menggoda dengan mengatakan bahwa Papa tidak senang dengan sikap manjaku.
"Papa tidak sudi punya anak gadis yang menja sepertimu, Dik." Kata abangku yang paling tua.
"No, Papa tidak akan merasa menjadi Papa sejati bila Papa tidak memiliki anak gadis macam aku. Papa bilang padaku bahwa Papa benar-benar merasakan sensasi menjadi seorang Papa setelah aku lahir. Iya kan Pa ? " Kataku sembari menghampiri Papa dan meminta untuk dibela.
Papa cuek saja melihat tingkah laku para putra-putrinya. Tanpa perlu diperdebatkan sebetulnya, aku dan kami semua tahu bahwa Papa sangat mencintaiku sebagai anak gadis satu-satunya, paling bungsu pula. Tak hanya kami sekeluarga, semua orang pun dapat melihat bahwa aku adalah anak kesayangan Papa.
***
Hampir semua mata selalu melihat diriku dengan penuh kagum. Kehidupanku yang tampak bahagia dan nyaris sempurna membuat orang lain menjadi terpesona dan menginkannya. Aku berangkat menuju kampus menagendarai mobil pribadi dan mengenakan pakaian yang pantas. Sebagai mahasiswi fakultas kedokteran, penampilan menawan adalah sebuah kepentingan, bahkan bisa dianggap sebagai sebuah keharusan, hingga kebutuhan.
Aku kerap melihat para adik dan kakak kelas memandangiku dengan takjub dan penuh hormat. Mereka seolah sangat ingin memujiku setiap saat. Itu membuat kepercayaan diriku tetap terjaga dengan stabil. Akan tetapi, itu hanyalah masa lalu. Sekarang, semuanya telah berubah sejak majalah kampus menuliskan berita miring tentang Papaku. Para mahasiswa yang bergabung dengan majalah itu, ah, mereka adalah penyebab kehancuran hidupku. Bukan aku saja, mereka juga menjadi dalang atas kacaunya hidup Mama, Papa, dan kedua Abangku.
"Za tidak percaya dengan berita ini Pa. Kenapa harus seperti ini." Aku menangis histeris di depan Papa beberapa jam setelah aku membaca sebuah headline di halaman paling depan majalah kampus yang memakai nama Papaku sebagai judulnya.