MASALAH SOSIAL KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN KABUPATEN WONOSOBO
Fifa Salsa Handayani
fifasalsahandayani@students.unnes.ac.id
Abstrak
Kemiskinan dan pengangguran merupakan masalah sosial yang signifikan di Kabupaten Wonosobo, yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Penelitian ini menganalisis perkembangan tingkat kemiskinan dan pengangguran, faktor penyebab, serta dampaknya terhadap perekonomian dan kualitas hidup masyarakat. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, tingkat kemiskinan Wonosobo pada tahun 2024 mencapai 15,28%, menempatkannya sebagai salah satu kabupaten dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Jawa Tengah. Penyebab utama meliputi ketidakseimbangan angkatan kerja dan kesempatan kerja, keterbatasan akses pendidikan, serta ketimpangan ekonomi. Dampak dari kondisi ini meliputi meningkatnya kriminalitas, rendahnya kualitas hidup, dan gangguan kesehatan mental. Penelitian ini menekankan pentingnya strategi holistik, seperti peningkatan akses pendidikan, penciptaan lapangan kerja, program jaring pengaman sosial, dan reformasi kebijakan ekonomi, untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran secara berkelanjutan. Dengan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, diharapkan kesejahteraan masyarakat Wonosobo dapat meningkat secara signifikan.
Kata Kunci :Kemiskinan, Pengangguran.
Pendahuluan
Kemiskinan dan pengangguran adalah dua masalah sosial yang saling berkaitan dan terus menjadi tantangan besar bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Kemiskinan merujuk pada kondisi ketidakmampuan seseorang atau kelompok untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan pendidikan. Sementara itu, pengangguran adalah situasi di mana seseorang yang termasuk dalam angkatan kerja tidak memiliki pekerjaan yang layak. Kedua masalah ini berdampak besar pada kehidupan individu dan masyarakat, mulai dari meningkatnya angka kriminalitas, rendahnya tingkat pendidikan, hingga melemahnya pertumbuhan ekonomi.
Kenyataan dewasa ini, kemiskinan merupakan ujian dan penderitaan yang menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. Beberapa anak-anak di masyarakat yang putus sekoah, menjadi gelandangan, pengangguran dan ketidak-harmonisan (broken home) dalam sebuah rumah tangga terjadi akibat dari kemiskinan. Kenyataan semacam ini membutuhkan pananganan yang serius dan segera harus dicarikan solusinya. Upaya ini tidak hanya ditujukan kepada orang-orang miskin melainkan juga pada orang-orang yang diberi kecukupan harta (al-ghaniy) supaya menafkahkan sebagian harta yang dimilikinya kepada orang-orang miskin, salah satunya melalui kesadaran membayar zakat untuk memperbaiki ekonomi sekelompok masyarakat yang tidak memiliki keberuntungan dan kecukupan ekonomi itu sendiri.
Krisis ekonomi global yang sedang melanda belahandunia ini tidak bisa dicegah apalagi dikendalikan hanya satu bangsa saja. Olehnya itu, pasti akan berdampak pada kesehatan ekonomi nasional. Guna mengatasi masalah ini, salah satu langkah yang ditempuh adalah meminimumkan dampak negatif tersebut sekaligus berpikir ulang tentang makna reformasi ekonomi. Kemiskinan dan pengangguran jangan ditempatkan sebagai turunan dan sisa dari target pertumbuhan ekonomi. Dan ini dicerminkan dengan pendekatan tambal sulam. Dengan kata lain arusutama (mainstream) para perencana pembangunan harus propopulis ketimbang berorientasi mutlak pada propasar.
Padahal sejak republik ini berdiri, penanggulangan pengangguran dan kemiskinan bukanlah masalah yang disepelekan melainkan menjadi prioritas penangnanan. Mengatasi pengangguran dan kemiskinan itu tidaklah dilakukan ketika masalah ini menjadi isu nasional. Hal inilah yang menjadi faktor utama mengapa pengangguran dan kemiskinan sulit dicegah karena penanganan permasalahan tidak dipersiapkan sebelumnya.
Kejadian ini bermula dari mashab pemikiran para perencana pembangunan yang terlalu berorientasi pada propasar semata. Ketika pertumbuhan ekonomi terlalu mengandalkan pada industri-industri atau perusahaan besar saja, maka lambat laun usaha ekonomi rakyat akan tergilas. Sebaliknya ketika terjadi krisis global maka runtuhnya produktifitas raksasaraksasa tersebut akan berakibat pada penderitaan rakyat. Ketika itu barulah pemerintah menengok pentingnya pertumbuhan ekonomi usaha kecil dan menengah.
Sebenarnya, pemerintah saat itu sudah punya kebijakan triple track strategy yakni progrowth, propoor, dan proemployment. Namun pertanyaannya apakah dalam operasionalnya sudah sesuai dengan kebijakan tersebut. Belum tentu bukan. Kenyataannya, pemerintah belum terbuka mengutarakan bagaimana kebijakan triple track strategy itu diterjemahkan dalam kebijakan makro yang komprehensif antarsektor. Misalnya apa dan bagaimana pembangunan pertanian berkaitan dengan pembangunan sektor industri, perdagangan, ketenagakerjaan, pembangunan daerah, infrasruktur, dan sebagainya. Begitu pula bagaimana pembangunan di sektor nonpertanian kaitannya dengan pembangunan sektor-sektor lainnya. Untuk menekan angka kemiskinan dan ketimpangan pendapatan, pemerintah dapat menjalankan strategi kebijakan yang mendukung kesejahteraan penduduk miskin (pro poor). Bank Dunia menilai bahwa untuk dapat memajukan ekonomi secara substansial, pemerintah harus mengimplementasikan kebijakan-kebijakan publik yang efektif dengan cara menjalin kemitraan dengan sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil (World Bank, 2014). Strategi kemitraan penting untuk dilakukan agar tercipta sinergi dalam pembangunan ekonomi yang diharapkan secara inklusif dapat dirasakan oleh masyarakat. Selain itu, strategi penting lainnya adalah dengan cara membantu masyarakat miskin untuk dapat meningkatkan ekonominya melalui penyediaan lapangan kerja.
Kemiskinan dan ketimpangan pendapatan adalah masalah sosial yang harus diselesaikan dan ini menjadi tanggung jawab bersama, baik pemerintah, swasta, dan organisasi masyarakat sipil. Dari sisi peran pemerintah, berbagai program dan kebijakan pembangunan telah dilakukan untuk memacu pertumbuhan ekonomi, namun ini tidak serta merta dapat menyelesaikan masalah sosial tersebut secara komprehensif. Menurut Yunus (2007), pada dasarnya pemerintah dapat melakukan banyak hal untuk menyelesaikan masalah sosial karena kemampuannya dalam mengakses dan mengelola sumber daya. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak demikian karena ada beberapa alasan yang mendasar. Pertama, pemerintah dapat berperilaku tidak efisien, lambat dalam bertindak, rentan terhadap tindak korupsi, birokratis, serta adanya kepentingan individual yang selalu melekat.
Kedua, pemerintah seringkali memiliki kemampuan yang baik dalam membuat suatu kebijakan, namun tidak ketika mengeksekusinya. Pemerintah juga tidak memiliki tekad yang kuat ketika ingin menghentikan suatu program pengentasan kemiskinan karena tidak lagi dibutuhkan atau justru menjadi beban bagi keuangan pemerintah. Ketiga, lingkungan pemerintah tidak terlepas dari politik. Politik seringkali mewarnai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Artinya ada penyimpangan tujuan yang hendak dicapai sebab umumnya kelompok partai pemerintah memiliki kecenderungan untuk memperjuangkan kepentingan mereka saja.
"Kegagalan" dalam menyelesaikan permasalahan sosial tidak hanya dialami oleh pemerintah, tetapi juga mitra pemerintah, yaitu sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil. Yunus (2007) pun juga menjelaskan bahwa terdapat kelemahan dari program corporate social responsibility (CSR) yang dilakukan oleh sektor swasta. CSR merupakan konsep tanggung jawab bisnis secara sosial yang dilakukan dengan tujuan yang baik, namun dalam praktiknya terjadi penyalahgunaan, yaitu mencari keuntungan pribadi untuk perusahaan. Di sini terlihat bahwa perusahaan melakukan hal yang baik kepada masyarakat padahal kontribusi yang diberikan hanya sedikit karena tujuan lainnya adalah untuk memperoleh citra positif melalui publikasi kegiatan yang dilakukan (window dressing). Sementara itu, organisasi masyarakat sipil, seperti non-government organization (NGO), memiliki keterbatasan dalam upaya penyelesaian masalah sosial. Hal ini karena ketergantungan NGO terhadap sumber pembiayaan. NGO sangat mengharapkan donor untuk pembiayaan. Artinya, ketika NGO tidak lagi memiliki donor, maka keberlangsungan penyelesaian masalah sosial akan terganggu. Kelemahan yang ada, baik pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil serta dinamika masalah sosial yang semakin kompleks mendorong pada suatu pendekatan penyelesaian yang inovatif, yaitu kewirausahaan sosial.
Pembahasan
1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Tahun 2018-2024 di Kabupaten Wonosobo
Kemiskinan merupakan isu global yang dihadapi oleh banyak negara di dunia termasuk Indonesia. Dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs), penurunan kemiskinan menjadi isu yang mendapatkan perhatian utama. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi penanggulangan kemiskinan adalah tersedianya data kemiskinan yang akurat. Badan Pusat Statistik (BPS), sebagai lembaga yang berperan dalam menyediakan data kemiskinan, telah menggunakan modul konsumsi Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) sejak tahun 1976 untuk menghitung angka kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan dan non makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Secara umum, angka kemiskinan di Wonosobo selama 2018 -- 2024 mengalami fluktuasi baik dari sisi jumlah maupun persentase. Secara persentase, penduduk miskin Kabupaten Wonosobo mengalami penurunan sejak tahun 2018 hingga 2019, kemudian mengalami kenaikan pada tahun 2020 dan 2021. Kenaikan jumlah maupun persentase penduduk miskin pada tahun 2020 dan 2021 merupakan konsekuensi dampak pandemi Covid-19 yang mulai terjadi pada tahun 2020. Kemudian mengalami kenaikan pada tahun 2020 dan 2021. Seiring dengan adaptasi masyarakat dengan kondisi covid dan semakin banyaknya penduduk yang sudah vaksin covid, secara berangsur-angsur kegiatan ekonomi masyarakat kembali normal sehingga jumlah dan persentase penduduk miskin mengalami penurunan pada 2022 hingga 2023. Pada tahun 2024 persentase penduduk miskin Kabupaten Wonosobo sebesar 15,28 persen, turun 2,30 persen dibanding tahun 2018.
2. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Tahun 2023-2024
Jumlah penduduk miskin di Wonosobo pada tahun 2024 sebesar 121,49 ribu orang atau 15,28 persen dari total seluruh penduduk Wonosobo. Dibandingkan tahun 2023, jumlah penduduk miskin menurun 2,21 ribu orang. Persentase penduduk miskin pada tahun 2024 tercatat sebesar 15,28 persen, menurun s e b a n y a k 0,30 persen dibanding persentase penduduk miskin tahun 2023. Secara persentase penduduk miskin, pada tahun 2024 Kabupaten Wonosobo menjadi urutan ketiga kabupaten dengan persentase penduduk miskin terbanyak se-Jawa Tengah, posisi tersebut sama dengan tahun 2023. Akan tetapi pada tahun-tahun sebelumnya Wonosobo menduduki urutan pertama atau kedua kabupaten dengan persentase penduduk miskin terbanyak se-Jawa Tengah. Jumlah dan presentase penduduk miksin Kabupaten Wonosobo 2023-2024
Tahun
Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan)
(1)
(2)
2023
425.105
2024
456.351
Perubahan 2023--2024 (%)
7,40
Sumber : Diolah dari data survei Sosial Ekonomi Nasional(Susenas) Maret 2023 dan Maret 2024.
3. Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Keparahan Kemiskinan Tahun 2022- 2023
Persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Indeks kedalaman kemiskinan adalah ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Indeks keparahan kemiskinan memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin.
Pada periode 2023-2024, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Kabupaten Wonosobo mengalami penurunan. Indeks Kedalaman Kemiskinan pada tahun 2024 sebesar 2,41, turun dibandingkan tahun 2023 yang sebesar 2,60. Demikian juga dengan Indeks Keparahan Kemiskinan, pada 2024 mengalami penurunan dari 0,63 pada tahun 2023 menjadi 0,60 pada tahun 2024. Tabel 3 menyajikan perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Kabupaten Wonosobo pada tahun 2023 sampai dengan tahun 2024.
Tabel 2 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Kabupaten Wonosobo Tahun 2023-2024
Tahun
Nilai Indeks
(1)
(2)
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
2023
2,60
2024
2,41
Selisih 2023-2024
0,19
Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
2023
0,63
2024
0,60
Selisih 2023-2024
0,03
Sumber: Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2023 dan Maret 2024
4. Perbandingan Kemiskinan antar Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2023-2024
Tabel 4 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2023-2024
Jumlah
Penduduk Misk
in (ribu Orang)
Persentase Pendu
duk Miskin
Kabupaten/Kota
2023
2024
2023
2024
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1.
Cilacap
191,00
186,08
10,99
10,68
2.
Banyumas
216,50
207,78
12,53
11,95
3.
Purbalingga
143,41
136,72
14,99
14,18
4.
Banjarnegara
138,99
137,68
14,90
14,71
5.
Kebumen
195,45
187,95
16,34
15,71
6.
Purworejo
81,28
78,02
11,33
10,87
7.
Wonosobo
123,70
121,49
15,58
15,28
8.
Magelang
144,49
143,80
10,96
10,83
9.
Boyolali
97,48
95,96
9,81
9,63
10.
Klaten
144,43
141,84
12,28
12,04
11
Sukoharjo
68,79
68,15
7,58
7,47
12
Wonogiri
104,82
102,57
10,94
10,71
13
Karanganyar
88,64
87,37
9,79
9,59
14
Sragen
114,62
110,65
12,87
12,41
15
Grobogan
162,52
159,00
11,72
11,43
16
Blora
99,61
99,14
11,49
11,42
17
Rembang
91,97
91,45
14,17
14,02
18
Pati
118,18
116,84
9,31
9,17
19
Kudus
65,16
65,69
7,24
7,23
20
Jepara
86,75
80,84
6,61
6,09
21
Demak
143,26
142,92
12,01
11,89
22
Semarang
78,35
76,87
7,17
6,96
23
Temanggung
72,96
68,77
9,26
8,67
24
Kendal
92,64
92,71
9,39
9,35
25
Batang
69,97
68,85
8,92
8,73
26
Pekalongan
87,93
81,72
9,67
8,95
27
Pemalang
195,57
194,20
15,03
14,92
28
Tegal
105,03
98,02
7,30
6,81
29
Brebes
286,14
283,28
15,78
15,60
30
Kota Magelang
7,45
7,25
6,11
5,94
31
Kota Surakarta
43,89
43,28
8,44
8,31
32
Kota Salatiga
9,41
9,33
4,66
4,57
33
Kota Semarang
80,53
77,79
4,23
4,03
34
Kota Pekalongan
21,36
21,16
6,81
6,71
35
Kota Tegal
19,22
19,17
7,68
7,64
Jawa Tengah
3.791,50
3.704,33
10,77
10,47
Sumber: Diolah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2023 dan Maret 2024
Data jumlah dan persentase penduduk miskin di Jawa Tengah tahun 2023-2024 menunjukkan bahwa Kabupaten Wonosobo memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya. Pada tahun 2024, jumlah penduduk miskin di Wonosobo mencapai 121,49 ribu orang dengan persentase 15,28 persen. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata provinsi Jawa Tengah, yaitu 10,47 persen.
Dibandingkan dengan kabupaten lain di sekitarnya, seperti Cilacap (10,68 persen), Banyumas (11,95 persen), dan Purworejo (10,87 persen), Wonosobo memiliki persentase penduduk miskin yang lebih besar. Namun, Wonosobo berada di bawah Kebumen (15,71 persen) dan Brebes (15,60 persen), yang mencatat persentase kemiskinan tertinggi di Jawa Tengah.
Sementara itu, beberapa daerah seperti Jepara (6,09 persen), Kota Semarang (4,03 persen), dan Kota Salatiga (4,57 persen) menunjukkan tingkat kemiskinan yang jauh lebih rendah, mencerminkan keberhasilan dalam upaya pengentasan kemiskinan di wilayah perkotaan. Data ini menyoroti perlunya perhatian khusus untuk wilayah seperti Wonosobo melalui kebijakan pembangunan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan yang lebih efektif agar kesenjangan kemiskinan antar wilayah dapat diminimalkan.
Wilayah (Kab.Wonosobo)
Angka Kemiskinan
Garis Kemiskinan (Rp/kapita/bulan)
Jumlah Penduduk Miskin (ribu jiwa)
Persentase Penduduk Miskin (persen)
2024
2024
2024
Kabupaten Wonosobo
456.351,00
121,49
15,28
Sumber : ( https://wonosobokab.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTA4IzI=/angka-kemiskinan.html )
Berdasarkan data di atas kemiskinan Kabupaten Wonosobo tahun 2024 menunjukkan bahwa garis kemiskinan berada pada angka Rp456.351,00 per kapita per bulan. Hal ini berarti individu yang memiliki pengeluaran di bawah nilai tersebut dikategorikan sebagai penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin di wilayah ini mencapai 121,49 ribu jiwa, yang setara dengan 15,28 persen dari total populasi. Persentase ini mencerminkan tingkat kemiskinan yang masih signifikan, menunjukkan bahwa sekitar satu dari tujuh penduduk di Kabupaten Wonosobo hidup di bawah garis kemiskinan. Data ini menandakan perlunya perhatian khusus dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui kebijakan yang lebih efektif dan terfokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, termasuk melalui pemberdayaan ekonomi, akses pendidikan, dan fasilitas kesehatan.
Penyebab Kemiskinan dan Pengangguran
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pengangguran
Pertama, besarnya Angkatan Kerja Tidak Seimbang dengan Kesempatan Kerja. Ketidakseimbangan terjadi apabila jumlah angkatan kerja lebih besar daripada kesempatan kerja yang tersedia. Kondisi sebaliknya sangat jarang terjadi. Kedua, struktur Lapangan Kerja Tidak Seimbang. Ketiga, kebutuhan jumlah dan jenis tenaga terdidik dan penyediaan tenaga terdidik tidak seimbang. Apabila kesempatan kerja jumlahnya sama atau lebih besar daripada angkatan kerja, pengangguran belum tentu tidak terjadi. Alasannya, belum tentu terjadi kesesuaian antara tingkat pendidikan yang dibutuhkan dan yang tersedia. Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan sebagian tenaga kerja yang ada tidak dapat mengisi kesempatan kerja yang tersedia. Keempat, Meningkatnya peranan dan aspirasi Angkatan Kerja Wanita dalam seluruh struktur Angkatan Kerja Indonesia. Kelima, penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Kerja antar daerah tidak seimbang. Jumlah angkatan kerja disuatu daerah mungkin saja lebih besar dari kesempatan kerja, sedangkan di daerah lainnya dapat terjadi keadaan sebaliknya. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan perpindahan tenaga kerja dari suatu daerah ke daerah lain, bahkan dari suatu negara ke negara lainnya.
Kemiskinan Gunawan Somodiningrat (1998) menjelaskan bahwa kemiskinan dibedakan dalam kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Dikatakan kemiskinan absolut apabila tingkat pendapatan berada di bawah garis kemiskinan, atau pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum. Kebutuhan hidup minimum tersebut dapat diukur dengan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan,perumahan, dan pendidikan, yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kemiskinan relatif adalah keadaan perbandingan antara kelompok masyarakat dengan tingkatpendapatan sudah di atas garis kemiskinan. Sehingga, sebenarnya sudah tidak termasuk miskin, tetapi masih lebih miskin dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain. Dengan ukuran pendapatan, keadaan ini dikenal dengan ketimpangan dalam distribusi pendapatan antar golongan penduduk, antar sektor kegiatan ekonomi maupun ketimpangan antar daerah.
Sedangkan berdasarkan penyebabnya, kemiskinan dapat dibedakan dalam tiga pengertian:kemiskinan natural (alamiah), kemiskinan struktural, dan kemiskinan kultural. Kemiskinan natural adalah keadaan miskin, karena dari asalnya memang miskin.Kelompok masyarakat ini miskin karena tidak memiliki sumber daya yang memadai,baik sumber daya alam, sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya, sehinggamereka tidak dapat ikut serta dalam pembangunan, mereka hanya mendapatkan imbalan pendapatan yang rendah. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan hasil pembangunan yangbelum seimbang, termasuk jenis kemiskikan ini adalah kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.Sedangkan kemiskinan kultural adalah mengacu pada sikap hidup seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budayanya, dimana mereka sudah merasa kecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mudah untuk melakukan perubahan, menolak untuk mengikuti perkembangan, dan tidak mauberusaha untuk memperbaiki kehidupannya. Akibatnya, tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai umum. Dengan ukuran absolut, misalnya tingkat pendapatan minimum, mereka dapat dikatakan miskin. Tetapi mereka tidak merasamiskin dan tidak mau disebut miskin. Dengan keadaan seperti ini, bermacam tolok ukurdan kebijakan pembangunan sulit menjangkau mereka.
Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makan maupun non makan. Sedangkan, defenisi menurut UNDP, adalah ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian tidak adanya partisipasi dalam pengambilan kebijakan publik sebagai salah satu indikator kemiskinan. Setidaknya terdapat dua masalah besar di banyak negara-negara berkembang (LDCs), tidak terkecuali di Indonesia, yaitu kesenjangan ekonomi atau ketimpangan dalam distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta tingkat kemiskinan atau jumlah orang yang berada di bawah garis kemiskinan (poverty line).
Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan
Tidak sulit mencari faktor-faktor penyebab kemiskinan, tetapi dari faktor-faktor tersebut sangat sulit memastikan mana yang merupakan penyebab sebenarnya serta mana yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perubahan kemiskinan:
- Keterbtasan Pendidikan Pendidikan yang rendah menjadi salah satu faktor utama kemiskinan. Tanpa pendidikan yang memadai, seseorang cenderung sulit mendapatkan pekerjaan yang layak.
- Kurangnya Lapangan Kerja Perkembangan industri yang tidak seimbang dengan pertumbuhan jumlah angkatan kerja menyebabkan banyak orang kesulitan mendapatkan pekerjaan.
- Ketimpangan Ekonomi Ketidakmerataan distribusi kekayaan dan akses terhadap sumber daya ekonomi menciptakan kesenjangan sosial yang semakin memperparah kemiskinan.
- Krisis Ekonomi Fluktuasi ekonomi global dapat menyebabkan meningkatnya angka pengangguran karena perusahaan terpaksa mengurangi tenaga kerja mereka.
- Masalah Struktural Sistem birokrasi yang tidak efisien dan kurangnya dukungan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja turut berkontribusi pada tingginya angka pengangguran.
Dampak Pengangguran Terhadap Perekonomian
Dampak pengganguran terhadap perekonomian yaitu terdapat dua aspek ekonomi: Pertama, dampak pengangguran terhadap perekonomian suatu negara.Tujuan akhir pembangunan ekonomi suatu negara pada dasarnya adalah meningkatkan kemakmuran masyarakat dan pertumbuhan ekonomi agar stabil dan dalam keadaan naik terus.Jika tingkat pengangguran di suatu negara relatif tinggi, hal tersebut akan menghambat pencapaian tujuan pembangunan ekonomi yang telah dicita-citakan. Hal ini terjadi karena pengganguran berdampak negatif terhadap kegiatan perekonomian, seperti yang dijelaskan di bawah ini:
(a) Pengangguran bisa menyebabkan masyarakat tidak dapat memaksimalkan tingkat kemakmuran yang dicapainya. Hal ini terjadi karena pengangguran bisa menyebabkan pendapatan nasional riil (nyata) yang dicapai masyarakat akan lebih rendah daripada pendapatan potensial (pendapatan yang seharusnya). Oleh karena itu, kemakmuran yang dicapai oleh masyarakat pun akan lebih rendah.
(b) Pengangguran akan menyebabkan pendapatan nasional yang berasal dari sektor pajak berkurang. Hal ini terjadi karena pengangguran yang tinggi akan menyebabkan kegiatan perekonomian menurun sehingga pendapatan masyarakat pun akan menurun. Dengan demikian, pajak yang harus dibayar dari masyarakat pun akan menurun. Jika penerimaan pajak menurun, dana untuk kegiatan ekonomi pemerintah juga akan berkurang sehingga kegiatan pembangunan pun akan terus menurun.
- Meningkatnya kriminalitas kemiskinan sering kali mendorong individu untuk melakukan tindakan kriminal seperti pencurian dan penipuan sebagai upaya bertahan hidup.
- Peurunan kualitas hidup pengangguran dan kemiskinan menyebabkan individu kesulitan memenuhi kebutuhan dasar sehingga kualitas hidup menurun drastis.
- Gangguan kesehatan mental ketidakpastian ekonomi sering kali memicu stres, depresi, dan gangguan kecemasan pada individu yang terdampak.
- Keterbatasan akses pendidikan anak-anak dari keluarga miskin sering kali terpaksa putus sekolah karena orang tua tidak mampu membiayai pendidikan mereka.
Solusi untuk Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran
- Peningkatan Akses Pendidikan dan Pelatihan Keterampilan : Pemerintah perlu menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas bagi masyarakat miskin. Selain itu, pelatihan keterampilan berbasis kebutuhan pasar kerja dapat membantu angkatan kerja yang tidak memiliki pendidikan formal untuk tetap produktif.
- Penciptaan Lapangan Kerja Baru : Mendorong investasi di sektor-sektor yang padat karya, seperti manufaktur, agrikultur, dan pariwisata, dapat membantu mengurangi pengangguran. Pemerintah juga bisa mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan memberikan akses pembiayaan dan pelatihan.
- Program Jaring Pengaman Sosial : Bantuan sosial seperti subsidi kebutuhan pokok, program keluarga harapan (PKH), dan program kartu prakerja dapat membantu masyarakat miskin keluar dari jeratan kemiskinan.
- Reformasi Kebijakan Ekonomi : Pemerintah perlu memastikan kebijakan ekonomi yang inklusif dan adil sehingga dapat mengurangi ketimpangan pendapatan dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua golongan masyarakat.
Kesimpulan
Dari perspektif ekonomi, kemiskinan dan pengangguran adalah hasil dari ketidakseimbangan dalam distribusi sumber daya, kurangnya investasi pada pendidikan dan keterampilan, serta lemahnya penciptaan lapangan kerja. Solusi atas masalah ini memerlukan pendekatan yang holistik, termasuk reformasi kebijakan ekonomi, peningkatan pendidikan, dan investasi pada sektor produktif. Dengan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, masalah ini dapat diatasi secara berkelanjutan, menciptakan ekonomi yang lebih inklusif dan sejahtera.
Dari perspektif sosiologi, kemiskinan dan pengangguran dipandang sebagai masalah yang bersifat struktural, dimana ketimpangan sosial dan ekonomi memperburuk keadaan. Dampak sosialnya termasuk ketegangan sosial, kriminalitas, dan ketidakpuasan terhadap sistem yang ada. Sementara itu, dari perspektif antropologi, budaya memainkan peran besar dalam membentuk sikap terhadap pekerjaan dan pendidikan. Pola hidup tradisional dan nilai-nilai kultural tertentu dapat menghambat upaya keluar dari kemiskinan. Solusi yang ditawarkan oleh kedua disiplin ilmu ini melibatkan pemberdayaan sosial dan budaya, serta perubahan struktur sosial untuk mengurangi ketimpangan. Pendekatan yang holistik yang mempertimbangkan aspek sosial dan budaya ini penting dalam merancang kebijakan yang efektif untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran.
Dari perspektif geografi, kemiskinan dan pengangguran dipengaruhi oleh faktor geografis seperti akses terhadap sumber daya, infrastruktur, dan lokasi. Daerah yang kurang berkembang atau yang terisolasi memiliki tantangan lebih besar dalam menciptakan peluang ekonomi. Solusinya terletak pada pengembangan infrastruktur yang memadai, pendirian peluang ekonomi baru di daerah terpencil, serta upaya pembangunan yang lebih terintegrasi.
Dari perspektif psikologi, kemiskinan dan pengangguran tidak hanya masalah ekonomi, tetapi juga memengaruhi kesehatan mental individu. Stres, kecemasan, dan rendahnya harga diri menjadi masalah besar yang harus diatasi melalui dukungan psikologis, pemberdayaan diri, dan pengurangan stigma sosial. Program-program yang mendukung kesehatan mental dan pemberdayaan individu akan sangat membantu dalam mengurangi dampak negatif dari kedua masalah tersebut.
Masalah kemiskinan dan pengangguran di Kabupaten Wonosobo merupakan tantangan yang kompleks, dipengaruhi oleh ketimpangan ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan, dan keterbatasan akses terhadap lapangan kerja. Meski tingkat kemiskinan menunjukkan penurunan dari tahun 2018 hingga 2024, dengan persentase 15,28% pada 2024, Wonosobo masih termasuk dalam wilayah dengan kemiskinan tertinggi di Jawa Tengah.
Penyebab utama meliputi ketidakseimbangan antara angkatan kerja dan kesempatan kerja, serta kurangnya pemerataan distribusi sumber daya. Penanggulangan masalah ini memerlukan pendekatan yang holistik melalui peningkatan akses pendidikan, penciptaan lapangan kerja, program jaring pengaman sosial, dan reformasi kebijakan ekonomi. Dengan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil, diharapkan tantangan ini dapat diatasi secara berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Wonosobo.
DAFTAR PUSTAKA
Muhdar, H. M. (2015). Potret Ketenagakerjaan, Pengangguran, Dankemiskinandi Indonesia: Masalah Dan Solusi. Al-Buhuts, 11(1), 42-66.
Wulandari, S., Dasopang, A. P., Rawani, G. A., Hasfizetty, I., Sofian, M. Y., Dwijaya, R., & Rachmalija, S. (2022). Kebijakan Anti Kemiskinan Program Pemerintah dalam Penananggulangan Kemiskinan di Indonesia. Jurnal Inovasi Penelitian, 2(10), 3209-3218.
Ishak, K. (2018). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengangguran Dan Inflikasi Terhadap Indeks Pembangunan Di Indonesia. Iqtishaduna: Jurnal Ilmiah Ekonomi Kita, 7(1), 22-38.
Yusriadi, Y., bin Tahir, S. Z., Awaluddin, M., & Misnawati, M. (2020). Pengentasan Kemiskinan melalui Socialpreneur. Wikrama Parahita: Jurnal Pengabdian Masyarakat, 4(2), 115-120.
Suharto, E. (2011). Kebijakan sosial. Bandung: Alfabeta.
https://wonosobokab.bps.go.id/id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H