Mohon tunggu...
Fiet Boendas
Fiet Boendas Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Benar dan Ngopi

14 September 2012   15:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:27 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kemarin setelah makan siang,kami terlibat obrolan ringan tentang seseorang dan eksistensi, lalu seorang di antara kami bertiga nanya "Agamanya apa...?"

Mendengar pertanyaan itu ada yang sedikit menohok di dadaku,
"Maksudnya apa mas,pertanyaanmu...?" Temanku diam

Sepotong pertanyaan itu sering kita lontarkan atau kita dengar mengiringi tentang seseorang dan existensinya. Ada yang salah dengan pertanyaan itu? Atau entah lah.  Seseorang bisa saja memiliki berbagai macam existensi tentang dirinya, salah satunya Agama, profesi, suku, hobby dll. Kembali ke pertanyaan teman tadi, sehubungan juga tentang issue-issue 'hangat bahkan panas' sekarang ini, baik di dalam dan atau luar negeri yang  sedang terjadi, salah satunya issue tentang agama, radikalisme dan militanisme. Kenapa ini seringkali terjadi bahkan berlangsung terus secara berkesinambungan...?  Saya tidak akan membahasnya menurut kacamata agama dan keyakinan apapun, sebab saya bukanlah agamawan.

Berangkat dari 'keberadaan'  kita sebagai manusia, pernahkah ( dahulu kala ) anda meminta untuk menjadi seorang Islam, Kristen, Yahudi, Kong Hu Cu atau meminta menjadi seorang  direktur, office boy atau seseorang yang berkulit putih, hitam dan sebagainya?  Saya tidak dapat membayangkan bagaimana nilai-nilai kesucian, keuniversalan religius bahkan nilai-nilai atau sifat-sifat  'ketuhanan'  kita rampas begitu saja dengan mengatasnamakan kebenaran dan tegakkannya keadilan di muka bumi yang kita pijak ini.
Kebenaran, sebagaimana yang kita fahami menurut keyakinan masing-masing  individu atau kelompok secara tidak sadar menempatkan kita sebagai 'individu atau kelompok yang benar'. Sebagaimana saya sekarang mengatakan bahwa, apa yang saya yakini sekarang adalah yang paling benar, sedikit saja disalahkan apalagi dilecehkan maka saya akan bereaksi terhadap aksi 'penyalahan dan pelecehan'.  Apa memang harus begitu? Sementara di sisi lain saya diberi pemahaman tentang  kasih sayang dan cinta sesama manusia. Dengan ini, apa saya lantas diam manakala terjadi 'penyalahan dan pelecehan'?

Banyak sekali pertanyaan seputar issue 'kebenaran' ini, apalagi diiringai dengan bumbu yang berupa 'kebahagiaan hidup kelak', 'kekekalan dan keabadian', menambah daya pacu kita untuk sekedar menyatakan 'saya benar' dan untuk  'kebenaran' ini, apapun akan saya lakukan meskipun  melewati pintu kematian. Bahkan sambil saya menulis inipun saya merasa tulisan saya yang 'paling benar'. Sejenak mari kita lepaskan beban 'kebenaranku'  dari hati dan benak kita, sembari melihat jejak yang tertinggal, adakah kebenaran yang kita tinggalkan, bahkan kita ingkari? Jangan melihat dari arah yang sama sebagaimana kita memandang 'kebenaran' pada mulanya.

Tentang rasa secangkir kopi saja kita bisa berbeda dalam cita rasanya, jangan katakan "kopiku lebih nikmat dari kopimu di depan kawan yang menyuguhkan secangkir kopi buatmu", tapi mari kita berbagi menurut existensi kopi pada mulanya ada, bagaimana masing- masing kita turut meraciknya dengan keahlian yang ada pada kita sehingga kita sama-sama mengatakan 'ini kopi yang nikmat', tanpa meninggalkan atau mengkhianati nurani kita bahwa 'kopiku tetap saja paling nikmat' tanpa kawan kita tahu. Kalaupun kita tetap 'memaksa' agar 'diakui' kopi kita paling nikmat, maka berilah resep racikan secara bijaksana, kalaupun masih belum diakui dan kita tetap 'memaksa' tak ada jalan lain, coba raciklah kembali kopi menurut resep yang kita berikan. Apakah saya sudah meraciknya benar-benar menurut resep ini, lantas menyuguhkan resepnya secara bijak?

Analogi di atas kiranya cukup untuk aku sampaikan dan aku tetap merasa  tulisanku malam ini adalah yang paling 'benar', selamat ngopi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun