Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Pergulatan Sistem Transportasi Online dengan Konvensional

3 April 2017   11:26 Diperbarui: 4 April 2017   15:32 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://m.tempo.co

Akhirnya bisul itu pecah juga. Di beberapa kota terjadi kekacauan yang terjadi akibat perselisihan antara moda transportasi online dengan moda transportasi umum konvensional. Di kota Bogor, Depok, Tangerang, dan Kab. Bandung terjadi pengrusakan antara satu kelompok dan kemudian keesokan harinya dibalas oleh kelompok lainnya. Kota-kota ini menyusul Jakarta yang hampir setahun lalu terjadi demonstrasi sopir taxi konvensional yang menentang adanya taxi online ini. Siapa yang salah? Jawaban saya adalah jaman.

Niklas Luhmann, seorang filsuf terkemuka di Eropa, mencetuskan sebuah teori mengenai 'sistem'. Ia mengemukakan bahwa sebuah sistem dapat berjalan dengan baik saat ia tidak menjadi lebih besar daripada lingkungan sistem itu berada. Inovasi menjadi sebuah hal yang lumrah saat jaman berkembang, metodologi pemikiran manusia yang kompleks selalu menempatkan manusia sebagai sang pemikir yang kritis dan kreatif. Manusia-manusia ini menjadi sebuah sub sistem daripada masyarakat transportasi (baca: sistem).

Masing-masing subsistem bergerak di bawah panduan dan acuan sistem. Sebagai masyarakat, kita sudah terbiasa dengan sistem transportasi yang ada. Kita sudah biasa memakai taxi yang berargo mahal dan jikalau ingin ngirit kita berganti menjadi pengguna angkutan umum. Kita pun terbiasa tawar menawar atau pasrah mendengar vonis harga dari abang-abang tukang ojek. Kita semua sudah merupakan bagian dari sebuah sistem masyarakat transportasi. Namun, yang kita lupa dan harus siapkan adalah dunia berkembang, pikiran dan ide menjadi sebuah komoditas yang tak ternilai. Dengan meluncurnya dunia digital dalam kehidupan manusia, maka perubahan menjadi sesuatu yang tak terelakkan lagi, termasuk dalam dunia transportasi. Oleh karena itu lahirnya digitalisasi transportasi menjadi sebuah hal yang wajar.

Ketika sebuah sistem tidak membesar dan masih selaras dalam lingkungannya maka tidak akan terjadi kekacauan. Saat sistem transportasi online tidak begitu banyak dan masih menjadi pilihan kedua, ketiga, atau keberapa, maka tidak ada masalah. Namun saat sistem tersebut lebih besar daripada lingkungannya maka akan terjadi benturan sistem. Sistem transportasi konvensional dan sistem tranportasi digital berbenturan dalam lingkungan masyarakat tranportasi. Sebuah  chaos muncul. Kekacauan ini diakibatkan munculnya kompleksitas dalam hubungan antara sistem dan lingkungannya. Dalam lingkungan masyarakat transportasi dan di dalamnya terdapat kompleksitas yang ekskalasinya meningkat dari sistem transportasi konvensional dengan ditambah sistem transportasi digital, kekacauan muncul karena tiadanya kemampuan reduksi terhadap kompleksitas ini sehingga dapat sistem dapat menjalankan proses  autopoiesis-nya atau mekanisme perlindungan diri sistem tersebut.

Bentuk reduksi kompleksitas ini dapat dilakukan dengan adanya pembedaan kompleksitas. Dalam hal ini perlu adanya  aturan yang membuat kompleksitas tersebut dapat dikurangi. Aturan ini juga didasarkan pada adanya komunikasi sebagai dasar penting dalam sistem sosial dan terlepas dari kepentingan etis politis tertentu. Dalam hal kekacauan sistem transportasi konvensional dan digital ini, pemerintah sebagai pihak yang memberi aturan wajib untuk:

1. Melihat apakah pendirian transportasi digital telah mengikuti aturan ijin transportasi yang sah.

2. Penetapan harga sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh peraturan daerah tersebut.

3. Memiliki aturan kepegawaian yang jelas.

Sejatinya, masalah ini dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan solusi yang bersifat win-win. Masyarakat dapat mendapatkan transportasi yang baik dan layak serta memiliki aturan harga yang jelas tanpa adanya monopoli dari pihak-pihak tertentu. Namun, orang yang bekerja dalam bidang transportasi juga selayaknya dilindungi oleh payung hukum sehingga mata pencaharian mereka juga tidak dicampuri oleh orang-orang yang bisa dikatakan hanya menyambi sebagai sopir saja.

Sehingga pada akhirnya, masyarakatlah yang dimenangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun