Sebagai seorang muslim, saya meyakiniTuhan selalu memberi apa yang kita butuhkan. Terkadang yang kita butuhkan itu bukan yang kita inginkan saat itu. Keinginan dan kebutuhan jelas dua hal berbeda. Dalam kehidupan, dalam kondisi yang minim, terpenuhinya kebutuhan lebih utama dari terpenuhinya keinginan. Saya rasa Anda tentu sependapat dengan saya.
Filosofi ini kita tarik pada situasinegerikita yang saat ini sedang bersiap-siap memilih pemimpin baru. Ada dua calon presiden (beserta wakilnya) sedang bertarung.Bagi saya, siapapun presiden kita nanti, dialah yang dibutuhkan negeri ini untuk situasi sekarang ini. Dialah yang dipilihkan Tuhan untuk kita, sekalipun dia bukan pilihan kita. Tuhan punya rahasia yang kita tidak mengerti sekarang, tapi nanti kita paham bahwa ini cara Tuhan mendidik hambanya. Hikmah suatu kejadian, seringkali dipahami setelah bertahun-tahun kejadian itu terjadi.
Karena itu saya jadi termenung ketika para fanskedua capres saling mengejek tentang kelayakan capres kubu lawannya. Yang sering muncul di media massa maupun sosmed adalah celotehan tentang perbandingan penilaian sosok capres. Yang satu dianggap karena dan gagah, yang satunya dibilang kampungan lagi kerempeng. Yang satu intelek berwawasan internasional pintar ngomong dalam bahasa Inggris apalagi Indonesia, yang satunya lagikualitas lokal bisanya hanya blusukan nggak pintar ngomong bahasa Indonesia saja medog apalagi Inggrisnya. Yang satunya adalah Prabowo dan yang satunya lagi itu adalah Jokowi. Perbandingan di atas menempatkan Jokowi seakan-akan “kurang pantes” dibanding Prabowo untuk jadi presiden.
Bagi saya, Prabowo maupun Jokowi layak jadi presiden. Jangan meremehkan pilihan Tuhan yang telah menetapkan dan mengizinkan keduanya menjadi capres. Yang tidak layak itu sesungguhnya adalah orang-orang yang digadang-gadang untuk dicalonkan juga oleh pendukungnya tapi tidak jadi . Jangankan untuk jadi “presiden”, menjadi “calon presiden” saja tidak diizinkan Tuhan.
Tahun 2004 ketika wajah dan suara Prabowo mulai tampil di televisi (dan itu terus berlangsung sampai sekarang)mengisyarakat keinginannya untuk jadi Presiden RI ke 7, saya jatuh hati. Saya ingin punya presiden seperti sosok Prabowo. Saya rela berbeda sikap dengan orang-orang terdekat saya. “Pokoknya Prabowo”, kata keinginan hati saya.
Hari-hari menjelang pilpres saya menemukan semacam renungan batin, bahwa pilihan saya belum tentu sejalan dengan kebutuhan bangsa. Saya melihat, dibalik kekurangan-kekurangan yang disodorkan orang-orang tentang Jokowi (yang ternyata lebih banyak fitnah dari pada benar), tersibak solusi yang selama ini saya cari, yang saya rindukan untuk bangsa ini.
Maka saya pun menimbang-nimbang pilihan untuk yang akan saya coblos nanti. Istikharah saya tempuh. Saya sampai pada keputusan yang mantap. Biarlah hati saya mengalah untuk bangsa ini. Saya pasrahkan pada Tuhan agar memimbing tangan ini mencoblos pasangan Jokowi-JK.
Jokowi lah pemimpin yang dibutuhkan bangsa ini. Namun demikian, kenangan ketika saya terkesima pada suara dan wajah Prabowo di televisi, tetap tersimpan simpan di hati.
Mari kita jalani pemilu yang damai.
Salam Dua Jari !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H