Tubuhku masih mematung menatapnya yang terus berjalan tak acuh. Kucoba mengingat kembali setiap detail kata yang ia ucap dan nyatanya otakku tak perlu bekerja lebih keras untuk mengingatnya. Kata-kata itu terus menggema di telingaku. Berputar-putar di otakku. Aku menghapalnya meskipun belum cukup 1 manit yang lalu baru saja ia diktekan ditelingaku. Aku bahkan mampu menuliskannya kembali meski dalam khayal sekalipun. Setiap bunyi yang kemudian dilambangkan menjadi huruf. Garis lurus maupun sedikit lengkung. Dan untuk setiap kata itu, setiap goresannya terasa sangat menyayat seperti ditulis ditubuhku dengan sebilah bambu yang sengaja diruncingkan. Seperti mampu kurasakan darah yang mulai mengalir perlahan lalu menetes. Namun, anehnya bukan kulitku yang sakit meski luka-luka sayatannya mulai menganga. Yang terasa sakit adalah organ hatiku. Rasanya seperti telah ia cabut paksa dari tempatnya di bawah rusukku. Hanya karena sebuah kalimat yang genrenya pengharapan. Yang ia sebut dengan menatapku tanpa berkedip. Kalimat yang lengkap subjek, predikat, dan objeknya. Aku ingin berhenti mencintaimu, katanya.
Makassar, 220911
19.07
Ef
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H